Jumat, 13 Juli 2018

Sastra Indonesia sebagai Penguat Identitas Nasional (1 dari 3)

(disampaikan dalam seminar sehari di Samarinda 2008)

Kehidupan masyarakat Indonesia menjelang akhir abad kesembilan belas dan menjelang abad kedua puluh memiliki arti yang pentng. Sejarah menunjukkan bahwa gejolak harapan dan impian suatu bangsa yang sedang lepas dari penindasan sedang melanda rakyat Indonesia. Hal itu terpacu oleh gejolak kemewahan dan kemelimpahan uang di  negeri Belanda lan­ta­ran buah dari tanam paksa di Indonesia. Uang yang datang dari  hasil tanam paksa itu sebaiknya dikembalikan ke Indonesia untuk mencerdaskan anak bangsa jajahan. Gerakan tersebut kita kenal dengan sebutan “Politik Balas Budi” atau “Politik Etis”. Dengan politik ini akhirnya Indonesia menjadi bangsa yang “melek” yang menciptakan para intelek di Indonesia ini. Di mana-mana akhirnya muncul para pemikir dan para pemuka nasional yang menumpu otaknya untuk “Indonesia Merdeka”. Semangat nasio­nails­me muncul secara besar-besaran . Di pihak lain, masyarakat yang sudah pandai tulis baca itu merasa haus akan bacaan. Bacaan liar yang berupa cerita-cerita ringkas bermunculan di mana-mana.
            Itulah awal Sastra Indonesia modern. Balai Pustaka yang berdiri pada tahun 1917 menerbitkan karya sastra pertamanya Azab dan Sengsara. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya muncullah karya sastra yang juga bermutu nasional, seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dan Hulubalang Raja.
            Sejak itu, sastra Indonesia modern melaju dengan pesat dari tahun ke tahun. Sastra Indonesia merambah berbagai ranah peristiwa dengan sajian yang beragam. Hingga kini kita tidak lagi berbicara hanya Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, tetapi sudah harus membaca dan membicarakan antara lain Harimau! Harimau!, Belenggu, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Sukreni Gadis Bali, Atheis, Upacara, Kemarau, Pulang, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, Sri Sumarah, Bumi Manusia, Dealova, Supernova, Saman, Ayat-Ayat Cinta, dan Laskar Pelangi.
            Kemajuan sastra Indonesia sangat pesat dalam arti kuantitas. Rasanya tidak pula kalah beragamnya kualitas buku-buku novel yang muncul itu. Kalau kita masuk ke toko buku, kita dapat melihat deretan buku atau novel yang beragam itu. Pada lapisan pertama, kita mendapatkan sastra-sastra awal, seperti Layar Terkembang dan Atheis. Pada lapisan kedua, kita menemu­kan novel-novel zaman kemerdekaan, seperti Harimau! Harimau! dan Merahnya Merah. Kemudian, pada lapis ketiga, kita menemukan novel-novel yang ringan, seperti Cintaku di Kampus Biru dan Karmila. Pada lapis keempat kita saksikan novel teenlit, seperti Dialova dan beberapa novel sejenis. Pada lapis kelima kita temukan novel-novel islami, seperti Ayat-Ayat Cinta dan novel-novel yang sejenis. Paling tidak kita akan menemukan tiga kelompok novel yang setiap kelompok mempunyai ciri khasnya masing-masing.
            Sekarang muncul pertanyaan sebagai suatu perumusan masalah. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah sebagai berkut.
1)      Seberapa jauh sastra Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa?
2)      Seberapa jauh sastra Indonesia meningkatkan semangat nasonalsme terhadap masyarakat Indonesia.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.