Kehidupan masyarakat Indonesia
menjelang akhir abad kesembilan belas dan menjelang abad kedua puluh memiliki
arti yang pentng. Sejarah menunjukkan bahwa gejolak harapan dan impian suatu
bangsa yang sedang lepas dari penindasan sedang melanda rakyat Indonesia.
Hal itu terpacu oleh gejolak kemewahan dan kemelimpahan uang di negeri Belanda lantaran buah dari tanam
paksa di Indonesia.
Uang yang datang dari hasil tanam paksa
itu sebaiknya dikembalikan ke Indonesia untuk mencerdaskan anak bangsa jajahan.
Gerakan tersebut kita kenal dengan sebutan “Politik Balas Budi” atau “Politik
Etis”. Dengan politik ini akhirnya Indonesia
menjadi bangsa yang “melek” yang menciptakan para intelek di Indonesia ini. Di mana-mana
akhirnya muncul para pemikir dan para pemuka nasional yang menumpu otaknya
untuk “Indonesia Merdeka”. Semangat nasionailsme muncul secara besar-besaran
. Di pihak lain, masyarakat yang sudah pandai tulis baca itu merasa haus akan
bacaan. Bacaan liar yang berupa cerita-cerita ringkas bermunculan di mana-mana.
Itulah
awal Sastra Indonesia
modern. Balai Pustaka yang berdiri pada tahun 1917 menerbitkan karya sastra
pertamanya Azab dan Sengsara. Kemudian,
pada tahun-tahun berikutnya muncullah
karya sastra yang juga bermutu nasional, seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dan Hulubalang Raja.
Sejak
itu, sastra Indonesia
modern melaju dengan pesat dari tahun ke tahun. Sastra Indonesia merambah berbagai ranah
peristiwa dengan sajian yang beragam. Hingga kini kita tidak lagi berbicara
hanya Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, tetapi sudah harus membaca
dan membicarakan antara lain Harimau!
Harimau!, Belenggu, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Sukreni Gadis Bali,
Atheis, Upacara, Kemarau, Pulang, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, Sri
Sumarah, Bumi Manusia, Dealova, Supernova, Saman, Ayat-Ayat Cinta, dan Laskar Pelangi.
Kemajuan
sastra Indonesia
sangat pesat dalam arti kuantitas. Rasanya tidak pula kalah beragamnya kualitas
buku-buku novel yang muncul itu. Kalau kita masuk ke toko buku, kita dapat
melihat deretan buku atau novel yang beragam itu. Pada lapisan pertama, kita
mendapatkan sastra-sastra awal, seperti Layar
Terkembang dan Atheis. Pada
lapisan kedua, kita menemukan novel-novel zaman kemerdekaan, seperti Harimau! Harimau! dan Merahnya Merah. Kemudian, pada lapis
ketiga, kita menemukan novel-novel yang ringan, seperti Cintaku di Kampus Biru dan Karmila.
Pada lapis keempat kita saksikan novel teenlit,
seperti Dialova dan beberapa
novel sejenis. Pada lapis kelima kita temukan novel-novel islami, seperti Ayat-Ayat Cinta dan novel-novel yang
sejenis. Paling tidak kita akan menemukan tiga kelompok novel yang setiap
kelompok mempunyai ciri khasnya masing-masing.
Sekarang
muncul pertanyaan sebagai suatu perumusan masalah. Pertanyaan yang perlu
diajukan adalah sebagai berkut.
1) Seberapa jauh sastra Indonesia
mencerdaskan kehidupan bangsa?
2) Seberapa jauh sastra Indonesia meningkatkan semangat nasonalsme
terhadap masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.