Jumat, 13 Juli 2018

Sastra Indonesia sebagai Penguat Identitas Nasional (3 dari 3)


Beberapa novel Indonesia telah memperlihatkan suatu sifat best seller ‘pelarap’ dalam kurun waktu tertentu. Hal itu memberi peluang bagi kita untuk menilai tentang apa yang hadir dalam karya sastra seperti itu. Novel Lupus, umpamanya sempat merebut pasar hingga beberapa waktu. Hingga kini novel terjemahan Harry Putter menjadi tumpuan pembaca terutama kalangan remaja. Kita melihat perbedaan yang jelas perilaku remaja terhadap novel Harry Putter  dan novel The Da  Vinci Code yang kedua-duanya novel terjemahan.
Kemudian, tidak dapat kita tutup mata kita terhadap novel Ayat-Ayat Cinta yang sudah diangkat pula ke layar lebar. Novel ini menyedot pembaca dengan jumlah yang amat besar. Karya sastra yang bercorak islami ini menyeret beberapa novel lain masuk ke kriteria best seller, seperti Ketika Cinta Bertasbih, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan Dalam Mikrab Cinta. Di luar novel islami, kita melihat pula novel Laskar Pelangi dan Sang Memimpi menjadi novel terlaris.
            Kita melihat juga bagaimana antusiasnya pembaca mencari novel Karmila pada waktu awal-awal novel itu dibukukan. Sebelumnya memang novel itu merupakan cerita bersambung pada salah satu surat kabar ibukota. Kasus yang sama kita temukan pula pada novel Cintaku di Kampus Biru yang sempat menjadi rebutan. Barangkali kasus yang sama pula terjadi dengan novel-novel teenlit, seperti Dealova.
            Di samping tiga kasus tersebut itu, kita masih menemukan novel yang best seller yang lain, yaitu Supernova yang katakanlah hampir semua orang mengenalnya, paling tidak mengenal judulnya. Cetak ulang dalam satu tahun yang mencapai lima kali merupakan bukti bahwa sebuah novel itu laku keras di khalayak pembaca. Ketenaran novel ini segera diikuti oleh novel Saman, Atap, dan Jendela-Jendela.
            Pertanyaan yang segera harus dijawab, apa yang ada di balik novel itu sehingga novel tersebut dapat merebut hati rakyat atau hati khalayak? Apakah di dalam novel itu tertanam sifat-sifat luhur bangsa seperti semangat nasionalisme?
            Dalam kasus pertama kita tidak tahu mengapa Lupus menjadi rebutan. Ada kesan bahwa tokoh Lupus adalah tokoh remaja yang avonturir yang mampu menghimpun perhatian para remaja dan mahasiswa. Hal itu pula barangkali yang menjadi sebab mengapa Harry Putter digemari oleh pembaca. Novel ini menggambarkan tokoh yang baik hati yang selalu mendapat kecurangan dari teman-temannya. Kebaikan hati seorang tokoh yang selalu dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk menaklukkan tokoh utamanya, Harry Putter. Para remaja tersihir untuk membacanya. Sikap luhur tokoh, seperti jujur, bersih, pintar, dan simpatik menjadi penarik minat bagi pembaca untuk mengetahui lebih jauh tokoh tersebut. Di samping itu, kekuatan novel terletak pada pilihan pembaca. Hampir semua umur dapat menikmati terjemahan Harry Putter.     
            Ketertarikan pembaca dengan tokoh yang ideal dan jujur seperti itu barangkali membuat novel Ayat-Ayat Cinta menjadi suatu novel yang digemari. Tokoh cerita yang pintar dengan predikat jujur dan baik hati seperti Fahri itu membuat novel Ayat-Ayat Cinta menjadi novel terlaris dalam jumlah angka tiras jualnya di samping juga alur dan bahasanya yang menawan.
            Dalam kasus kedua kita menyaksikan bahwa dunia kampus dengan tokoh mahasiswa yang hebat menjadi tumpuan. Dunia kampus  dengan kehidupan kampus sangat terasa di dalam Cintaku di Kampus Biru. Para remaja dan mahasiswa merasa bahwa itulah dunia mereka. Mahasiswa itu hendak melihat diri mereka sendiri, hendak mengetahui tentang diri mereka sendiri melalui tokoh Anton, dan kalau dapat ingin meniru kebaikan, ketulusan, ketampanan, tokoh Anton itu. Tokoh Anton menjadi tokoh idola, tokoh ideal. Di samping itu, tokoh diperlihatkan sebagai manusia yang menyandang predikat manusia daerah. Hal seperti itu terlihat pula pada tokoh-tokoh novel Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Tokoh-tokoh menyuarakan kekhasan daerah di samping juga memperlihatkan kesen­jangan sosial.
            Kita tidak dapat melupakan bahwa keterkenalan Cintaku di Kampus Biru disebabkan oleh ketersebaran ceritanya sebagai cerita bersambung dalam suatu media massa. Masyarakat pembaca sudah mengetahui cerita itu melalui media massa sehingga pada saat novel itu diterbitkan, novel itu menjadi rebutan. Hal yang sama terjadi pula pada novel Karmila. Dengan menyuguhkan suatu persoalan yang khas, novel itu menjadi rebutan pembaca setelah terlebih dahulu dimuat sebagai cerita bersambung di media massa. Kedua novel itu menggunakan bahasa yang ringan yang mudah dicerna oleh masyarakat.
            Masalah lain terlihat pada Supernova. Novel Supernova menjadi novel yang laris setelah melalui beberapa promosi di media massa elektronik. Di samping itu, novel itu memperlihatkan teknik penceritaan yang unik. Penceritaan secara berlapis seperti itu merupakan teknik penceritaan yang baru walaupun persoalan yang disodorkan juga masalah cinta segitiga. Cerita berlapis seperti ini tidak sama dengan cerita berbingkai (Raja dan Hantu), tidak sama dengan cerita berliput (Di Bawah Lindungan Kakbah), dan cerita bertali (kunun). Cerita berlapis ini merupakan cerita yang cukup rumit dalam penampilan alur dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu.
            Dengan berbagai kiat itulah novel-novel Indonesia digemari oleh masyarakat. Tampaknya, persoalannya tidak terletak pada novel asli atau terjemahan, tetapi terletak pada hal-hal yang lain.

            Hal-hal yang dikemukakan di atas dapat kita manfaatkan untuk memasyarakatkan sastra, menjadikan sastra sebagai wahana peningkatan semangat nasionalisme. Nasionalisme kita yang terbentuk ini dapat diperkuat dengan membaca sastra yang memuat budaya-budaya daerah yang beragam itu dalam peringkat nasional dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kita memiliki lebih kurang 746 buah bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang sudah barang tentu kita memiliki 746 macam budaya. Kita adalah negara yang multikultural yang sudah harus siap untuk di kete­ngahkan ke segenap rakyat kita. Budaya yang masih tertulis dalam bahasa daerah itu dapat kita angkat ke tingkat nasional dengan memaparkannya dalam bahasa nasional. Agar apa yang hendak kita kemukakan itu dapat  menjadi milik masyarakat, dapatlah kita pilih cara penyajian cerita seperti yang di atas.


                                                                                           Samarinda, 30 April 2008


Daftar Pustaka

Bakar, Djamil dkk. 1979. Kaba Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


Teeuw, A. 2002. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori. Jakarta: Pustaka Jaya.

Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.