Beberapa novel Indonesia telah
memperlihatkan suatu sifat best seller ‘pelarap’
dalam kurun waktu tertentu. Hal itu memberi peluang bagi kita untuk menilai
tentang apa yang hadir dalam karya sastra seperti itu. Novel Lupus, umpamanya sempat merebut pasar
hingga beberapa waktu. Hingga kini novel terjemahan Harry Putter menjadi tumpuan pembaca terutama kalangan remaja. Kita
melihat perbedaan yang jelas perilaku remaja terhadap novel Harry Putter dan novel The
Da Vinci Code yang kedua-duanya
novel terjemahan.
Kemudian, tidak dapat
kita tutup mata kita terhadap novel Ayat-Ayat
Cinta yang sudah diangkat pula ke layar lebar. Novel ini menyedot pembaca
dengan jumlah yang amat besar. Karya sastra yang bercorak islami ini menyeret
beberapa novel lain masuk ke kriteria best
seller, seperti Ketika Cinta
Bertasbih, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan Dalam Mikrab Cinta. Di luar novel islami, kita melihat pula novel Laskar Pelangi dan Sang Memimpi menjadi novel terlaris.
Kita
melihat juga bagaimana antusiasnya pembaca mencari novel Karmila pada waktu awal-awal novel itu dibukukan. Sebelumnya memang
novel itu merupakan cerita bersambung pada salah satu surat kabar ibukota. Kasus yang sama kita
temukan pula pada novel Cintaku di Kampus
Biru yang sempat menjadi rebutan. Barangkali kasus yang sama pula terjadi
dengan novel-novel teenlit, seperti Dealova.
Di samping tiga kasus tersebut itu, kita masih
menemukan novel yang best seller yang
lain, yaitu Supernova yang katakanlah
hampir semua orang mengenalnya, paling tidak mengenal judulnya. Cetak ulang
dalam satu tahun yang mencapai lima
kali merupakan bukti bahwa sebuah novel itu laku keras di khalayak pembaca.
Ketenaran novel ini segera diikuti oleh novel Saman, Atap, dan Jendela-Jendela.
Pertanyaan
yang segera harus dijawab, apa yang ada di balik novel itu sehingga novel
tersebut dapat merebut hati rakyat atau hati khalayak? Apakah di dalam novel
itu tertanam sifat-sifat luhur bangsa seperti semangat nasionalisme?
Dalam
kasus pertama kita tidak tahu mengapa Lupus
menjadi rebutan. Ada
kesan bahwa tokoh Lupus adalah tokoh remaja yang avonturir yang mampu
menghimpun perhatian para remaja dan mahasiswa. Hal itu pula barangkali yang
menjadi sebab mengapa Harry Putter digemari
oleh pembaca. Novel ini menggambarkan tokoh yang baik hati yang selalu mendapat
kecurangan dari teman-temannya. Kebaikan hati seorang tokoh yang selalu
dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk menaklukkan tokoh utamanya, Harry
Putter. Para remaja tersihir untuk membacanya.
Sikap luhur tokoh, seperti jujur, bersih, pintar, dan simpatik menjadi penarik
minat bagi pembaca untuk mengetahui lebih jauh tokoh tersebut. Di samping itu,
kekuatan novel terletak pada pilihan pembaca. Hampir semua umur dapat menikmati
terjemahan Harry Putter.
Ketertarikan
pembaca dengan tokoh yang ideal dan jujur seperti itu barangkali membuat novel Ayat-Ayat Cinta menjadi suatu novel yang
digemari. Tokoh cerita yang pintar dengan predikat jujur dan baik hati seperti
Fahri itu membuat novel Ayat-Ayat Cinta menjadi
novel terlaris dalam jumlah angka tiras jualnya di samping juga alur dan
bahasanya yang menawan.
Dalam
kasus kedua kita menyaksikan bahwa dunia kampus dengan tokoh mahasiswa yang
hebat menjadi tumpuan. Dunia kampus
dengan kehidupan kampus sangat terasa di dalam Cintaku di Kampus Biru. Para
remaja dan mahasiswa merasa bahwa itulah dunia mereka. Mahasiswa itu hendak
melihat diri mereka sendiri, hendak mengetahui tentang diri mereka sendiri
melalui tokoh Anton, dan kalau dapat ingin meniru kebaikan, ketulusan,
ketampanan, tokoh Anton itu. Tokoh Anton menjadi tokoh idola, tokoh ideal. Di
samping itu, tokoh diperlihatkan sebagai manusia yang menyandang predikat
manusia daerah. Hal seperti itu terlihat pula pada tokoh-tokoh novel Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Tokoh-tokoh menyuarakan kekhasan daerah di
samping juga memperlihatkan kesenjangan sosial.
Kita
tidak dapat melupakan bahwa keterkenalan Cintaku
di Kampus Biru disebabkan oleh ketersebaran ceritanya sebagai cerita
bersambung dalam suatu media massa.
Masyarakat pembaca sudah mengetahui cerita itu melalui media massa sehingga
pada saat novel itu diterbitkan, novel itu menjadi rebutan. Hal yang sama
terjadi pula pada novel Karmila. Dengan
menyuguhkan suatu persoalan yang khas, novel itu menjadi rebutan pembaca
setelah terlebih dahulu dimuat sebagai cerita bersambung di media massa. Kedua novel itu
menggunakan bahasa yang ringan yang mudah dicerna oleh masyarakat.
Masalah
lain terlihat pada Supernova. Novel Supernova menjadi novel yang laris
setelah melalui beberapa promosi di media massa
elektronik. Di samping itu, novel itu memperlihatkan teknik penceritaan yang
unik. Penceritaan secara berlapis seperti itu merupakan teknik penceritaan yang
baru walaupun persoalan yang disodorkan juga masalah cinta segitiga. Cerita
berlapis seperti ini tidak sama dengan cerita berbingkai (Raja dan Hantu), tidak sama dengan cerita berliput (Di Bawah Lindungan Kakbah), dan cerita
bertali (kunun). Cerita berlapis ini merupakan cerita yang cukup rumit dalam
penampilan alur dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang
ilmu.
Dengan
berbagai kiat itulah novel-novel Indonesia digemari oleh masyarakat.
Tampaknya, persoalannya tidak terletak pada novel asli atau terjemahan, tetapi
terletak pada hal-hal yang lain.
Hal-hal
yang dikemukakan di atas dapat kita manfaatkan untuk memasyarakatkan sastra,
menjadikan sastra sebagai wahana peningkatan semangat nasionalisme.
Nasionalisme kita yang terbentuk ini dapat diperkuat dengan membaca sastra yang
memuat budaya-budaya daerah yang beragam itu dalam peringkat nasional dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
Kita memiliki lebih kurang 746 buah bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang sudah
barang tentu kita memiliki 746 macam budaya. Kita adalah negara yang
multikultural yang sudah harus siap untuk di ketengahkan ke segenap rakyat
kita. Budaya yang masih tertulis dalam bahasa daerah itu dapat kita angkat ke
tingkat nasional dengan memaparkannya dalam bahasa nasional. Agar apa yang
hendak kita kemukakan itu dapat menjadi
milik masyarakat, dapatlah kita pilih cara penyajian cerita seperti yang di
atas.
Samarinda, 30 April 2008
Daftar
Pustaka
Bakar,
Djamil dkk. 1979. Kaba Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Teeuw,
A. 2002. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Yudiono
K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.
Jakarta:
Penerbit PT Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.