Jumat, 13 Juli 2018

BAHASA INDONESIA DAN PENDIDIKAN KARAKTER


Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara sudah memperlihatkan fungsinya dengan jelas. Dalam kehidupan berbahasa kita, fungsinya yang terpenting dapat kita sebutkan, yaitu bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar dunia pendidikan, bahasa kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Pelaksanaan secara luas dan secara sadar fungsi bahasa Indonesia itu dibarengi oleh keperluan orang untuk menyampaikan hasratnya dalam tingkat nasional. Kebutuhan itu tidak hanya sebatas tatanan lisan atau tutur, tetapi juga melibatkan kebutuhan dalam tatanan tulis dan baca.
            Hingga saat ini bahasa Indonesia sudah menjadi alat yang paling penting dalam kehidupan. Bahasa yang dimaksudkan sudah dilengkapi dengan kosakata yang dapat memberikan dan menyampaikan segala konsep dan gagasan. Tidak satu pun ide dan konsep yang hendak dikatakan oleh seseorang yang tidak mampu disampaikan dengan bahasa Indonesia.   Dengan demikian, bahasa Indonesia dapat menjalankan fungsi kemasyarakatannya dengan baik. Anton M. Moeliono (2011:3) mengatakan bahwa bahasa Indonesia dewasa ini harus menjalankan fungsi kemsayarakatan yang sebelumnya tidak atau kurang terkembang. Masyarakat Indonesia yang memajukan pembangunan dan mengembangkan penyelenggaraan tata kelola kenegaraannya di dalam berbagai bidangnya harus dapat berbicara dan menulis tentang apa saja yang mungkin digagaskan di dalam konstelasi yang baru itu. Hubungan timbal balik antara pembangunan nasional dan pengembangan bahasa merupakan hal yang menjadi kenyataan. Oleh sebab itu, usaha pengembangan bahasa mempunyai tiga dimensi yang berkorelasi dengan tolok ukur pembangunan masyarakat, yaitu peningkatan keberaksaraan dan keberangkaan, pembakuan bahasa, dan pemodernan bahasa.
            Masalah peningkatan keberaksaraan bahasa hingga saat ini sudah bejalan dengan baik. Dengen kesempurnaan aksara bahasa Indonesia menciptakan kemajuan masyarakat dalam baca tulis yang selama ini hal itu dimonopoli oleh kebiasaan tutur dan dengar. Baca tulis tidak dapat dilepaskan dari kemajuan pendidikan di sekolah yang menjadi tempat orang-orang menimba ilmu. Pembangunan dalam masyarakat baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental sangat didukung oleh tulis baca dalam dunia modern.
            Pengembangan dan peningkatan keaksaraan itu menjadi kunci kemajuan dan merupakan pintu gerbang untuk masuk ke dunia modern dan menyempurnakan peradaban dan budaya. Oleh sebab itu, keberaksaraan itu harus diikuti pula oleh usaha pembakuan bahasa, di samping pembakuan keaksaraa itu. Pembakuan itu akan memberikan sifat yang mantap pada bahasa Indonesia sehingga semua pembentukan kata hendaknya mengikuti santun dan karakter masyarakat kita.
            Dalam  pembakuan bahasa sifat “seragam” mempunyai kekuatan yang dominant. Sifat seragam itu mengutamakan kesepakatan, musyawarah, atau rundingan. Sebuah istilah yang tidak masuk dalam “kesepakatan “ itu tidak dapat dibakukan. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai adab tersendiri untuk menerima dan menetapkan suatu istilah atai kata. Di sinilah letaknya kekuatan bahasa kita. Ada ukuran kesantunan di dalam penetapan itu.
            Dalam masalah seragam itu, kita sudah melibatkan masalah sikap karakter bangsa. Bahasa kita tidak dapat kita lepaskan dari karakter bangsa. Kita tidak dapat menerima sebuah istilah yang tidak menunjukkan karakter tersebut. Sebaliknya, keseragaman itu sudah menunjukkan karakter kita sebagai bangsa.
  
2
            Rosida Tiurma Manurung (2011:2) menekankan bahwa pengajaran bahasa dapat dijadikan motor untuk mengimplementasikan pendidikan yang berspektif multibudaya, yaitu pendidikan yang memiliki visi dan misi untuk menghargai keberbedaan atau pluralitas, demokrasi, humanisme, dan mengembangkan karakter kebangsaan. Pengajaan bahasa perlu direvitalisasi agar mampu membuat siswa menjadi insan yang menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, keadilan, kesetaraan, kepedulian sosial, integritas, tanggung jawab, serta cinta kepada tanah air dalam perilakunya sehari-hari. Dengan demikian, guru dianggap mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk mengubah dan mempebaiki karakter melalui pengajaan bahasa. Tugas-tugas yang dibeikan oleh guru diarahkan kepada maksud ini.
            Melalui pendidikan (tangan guru) apa yang kita maksudkan sebagai karakter bangsa itu dapat diwujudkan. Nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dapat disampaikan dengan bahasa melalui sekolah. Istilah-istilah yang hidup dalam bahasa Indonesia terus-menerus diperhalus cara tutur dan tulisnya sehingga bahasa Indonesia menjadi alat yang mampu membedakan berbagai nuansa. Pemunculan kata tunanetra sebagai padanan kata buta merupakan usaha yang dimaksudkan itu. Dengan munculnya kata tuanetra tidak ada asosiasi penghinaan pelecehan, pemojokan, dan sebasgainya terhadap penyandang cacat tersebut.  Munculnya bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Indonesia merupakan usaha membentuk karakter bangsa melalui bahasa.

3
            Ada satu hal dalam bahasa kita yang tidak dapat kita lupakan dalam menyuaakan karakter bangsa. Hal itu adalah peribahasa. Kita memiliki kekayaan peribahasa. Dalam peribahasa terdapat berbagai pengajaran yang menunjukkan karakter bangsa. Peribahasa memperlihatkan sifat mulia, efisinsi, kerja keras, ketakwaan, dan sebagainya. Akan tetapi, banyak orang yang tidak meliriknya  sebagai kekayaan bangsa. Di dalam mengajarkan peribahasa kepada siswa SMA atau SMP, kita dapat memberikan keterangan kepada mereka sehingga mereka dapat meresapi peribahasa itu dengan baik. Beberapa contoh peribahasa yang dapat kita sampaikan kepada mereka adalah sebagai berikut.

Kalah jadi abu menang jadi arang (A8)
            Abu adalah sisa pembakaran kayu yang sudah hancur seperti debu. Kemudian, arang adalah sisa pembakaran yang belum hancur yang berupa bungkah-bungkah yang nanti juga menjadi abu. Baik abu amupun arang, keduanya tidak berguna lagi karena keduanya adalah sisa pembakaran. Dalam suatu pertandingan, yang kalah menjadi abu dan menang menjadi arang, berati mereka keduanya mendapatkan sesuatu yang tidak berguna lagi.
            Adikmu berkelahi dengan temannya sebab mereka saling mengejek. Hati mereka menjadi panas lalu mereka berkelahi. Setelah berkelahi, adikmu bengkak-bengkak badannya, temannya luka-luka. Kedua mereka tidak mendapat keuntungan. Mereka sama-sama rugi. Mereka mendapat kerugian yang besar. Kepada adikmu dan temannya dapat dikatakan dengan peribahasa kalah jadi abu menang jadi arang.

Asal ada kecil pun pada (21A)
            Asal ada maksudnya dengan syaratnya ada, pokoknya ada, atau yang penting ada. Kata pada artinya “cukup”, yaitu tidak lebih, tidak pula kurang. Jadi, kecil pun pada artinya kecil pun cukup. Jadi, pokoknya ada kecil pun cukup.
            Peribahasa ini hendak mengatakan bahwa yang penting bendanya ada walaupun bendanya itu tidak sebesar yang diharapkan. Maksudnya, tidak perlu besar, kecil pun tidak apa-apa. Kamu membutuhkan uang untuk membeli pensil bergambar. Kamu minta uang tersebut pada Ayah. Pensil gambar yang bagus itu yang berisi dua belas macam harganya Rp2.000,00. Akan tetapi, Ayah hanya memberi uang Rp1.000,00. Kamu terpaksa membeli pensil gambar yang isinya hanya enam yang harganya lebih murah. Yang penting dengan pensil gambar itu kamu dapat menggambar walaupun warnanya cuma enam macam. Peribahasa yang dapat dikenakan kepadamu itu adalah asal ada kecil pun pada.

Ada sama dimakan, tak ada sama dicari (ditahan-pen)(24A)
            Jika di rumahmu ada nasi, tentu saja kamu akan makan. Yang lain, ibumu, ayahmu, adik-adikmu, kakak-kakakmu juga harus makan. Jadi kalau makanan ada, dimakanlah bersama. Namun, jika makanan tidak ada di rumahmu, sama-samalah menahan lapar itu sambil menunggu hasil pencarian kita. Jadi, kalau nasi sudah ada, nasi itu akan kita makan bersama. Kalau nasi tidak ada, lapar akan ditahan bersama. Tentu nasi itu sama-sama pula mencarinya.
            Kalau memang terjadi di rumahmu bahwa nasi tidak ada, kamu harus ikut memikirkan bagaimana caranya mencari beras untuk ditanak itu. Kamu tidak boleh makan sendiri nasi yang ada. Jadi, dalam kehidupan keluarga dan famili itu, kamu harus merasa senasib dengan anggota keluarga lain. Ya, kalau satu orang makan, haruslah semua juga makan. Kalau satu orang tak makan, semua anggota keluarga harus bertahan dan sama-sama mencari. Itu namanya senasib sederita. Keadaan kamu yang seperti itu dikatakan dengan peribahasa ada sama dimakan, tak ada sama dicari; atau dapat juga dikatakan ada sama dimakan, tak ada sama ditahan.  

Kalau tak ada berada, tak ‘kan tempua bersarang rendah.(28A)
            Tempua adalah sebangsa burung yang membuat sarangnya pada pohon yang tinggi, seperti di pohon kelapa. Nama lain untuk burung tempua itu adalah burung manyar. Jika burung tempua itu telah membuat sarangnya tida di tempat yang tinggi, tentu ada penyebab dan alasan yang sangat besar. Mungkin saja di pohon yang tinggi itu ada tawon atau binatang lain yang mengganggu sarang tempua itu. Dikatakan bahwa kalau tak ada sebabnya, tidak akan tempua bersarang rendah.
            Pagi-pagi adikmu berangkat ke sekolah dengan gembira. Sebelum pukul sepuluh adikmu pulang padahal waktu itu belum waktunya bubaran sekolah. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada adikmu itu. Tidak mungkin dia pulang sepagi itu kalau tidak ada penyebabnya. Untuk keadaan adikmu itu dikatakan dengan peribahasa kalau tak ada berada, tak ‘kan tempua bersarang rendah.  

Air orang disauk, ranting orang dipatah (11B)
            Disauk artinya diambil dengan gayung untuk diminum. Ranting adalah bilah kecil-kecil yang bersifat menghalangi jalan atau mengganggu. Kalau kamu menumpang di rumah orang, tentu saja air rumah orang itu kamu sauk. Jika ada ranting-ranting yang menghalangi kenyamanan rumah itu kamu patahkan dan kam buang.
            Begitu juga kalau kamu pergi ke desa temanmu yang jauh. Kamu harus mengikuti aturan dan adat istiadat negeri itu karena kamu menumpang di rumah temanmu di negeri itu. Keadaan kamu yang harus mengikuti adat istiadat dan aturan negeri yang kamu tempati itu disebut dengan peribahasa air orang disauk, ranting orang dipatah.

Membagi sama adil, memotong sama panjang (106A)
            Membagi sama adil artinya memberikan orang yang akan menerima pemberianmu itu sama banyak. Jika orang pertama mendapat dua buah buku, yang lain juga mendapat dua buku. Jadi, hal seperti disebut adil. Memotong sama panjang artinya memotong itu tidak boleh sembarangan sehingga keratannya berbeda-beda panjangnya. Kalau potongan pertama panjangnya 10 cm, potongan yang lain semuanya berukuran 10 cm. Jadi, hal seperti itu akan menjadikan sesuatu itu sama rata sama rasa.
            Kamu dan dua orang temanmu mendapat pekejaan dari Ibu Guru, yaitu menyampuli 45 helai buku gambar yang baru saja diterima Kantor Dinas. Karena yang ditugasi oleh Ibu Guru hanya kamu bertiga, kamu harus membagi tugas kamu itu sama banyak dan sama beratnya. Jadi, kamu harus memberi dua temanmu itu masing-masing 15 helai buku gambar untuk disampuli. Kamu sendiri juga mendapat pekerjaan 15 helai buku gambar tersebut. Jadi, dengan demikian, kamu sudah membagi secara adil. Pekerjaan seperti itu dapat dikatakan dalam peribahasa membagi sama adil, memotong sama panjang.  

Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah (107A)
            Raja adalah orang yang berkuasa di suatu negara atau kerajaan. Raja merupakan penguasa tertinggi di negeri itu. Disembah artinya dimuliakan dan dihargai, bahkan dipuja. Cara orang menyembah itu biasanya dengan menyusun jari sepuluh, lalu mencium ujung kaki yang disembah itu. Pada zaman dahulu, orang menyembah raja dengan berjalan beringsut-ingsut menuju tempat raja, lalu di situ orang-orang itu menyusun jari dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan patuh kepada raja. Kita menyembah kepada Tuhan dengan mengangkat tangan, rukuk, sujud, dan seterusnya pada saat kita salat. Jadi, kalau raja adil pasti raja akan disembah seperti itu.
            Lalim artinya zalim, yaitu bengis, tidak menaruh belas kasihan, kejam, atau tidak adil, bahkan bisa berbuat sewenang-wenang. Kata disanggah artinya dibantah. Jadi, kalau raja lalim, raja akan disanggah, yaitu dibantah, dilawan, ditentang, dan didemo.
            Gubernur, kepala daerah Tingkat I, di provinsimu sangat adil dan selalu berbuat baik terhadap kepentingan masyarakat. Tidak ada orang yang membencinya. Dia dipuja dan disayangi oleh masyarakat. dia disanjung dan disembah oleh masyarakat. Akan tetapi, gubenur di daerah lain berlaku tidak adil. Banyak rumah-rumah rakyat yang digusur dan dibangun pasar swalayan, sedangkan masyarakat yang digusur itu tidak dipedulikan nasibnya. Oleh sebab itu, masyarakat selalu berontak dan berdemo ke tempat gubernur. Terhadap gubernur tersebut, masyarakat selalu merasa marah dan berontah. Mereka akan menyanggah kebijakan gubernur. Keadaan gubernur itu dapat dikatakan dengan peribahasa raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.

Menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri (155A)*
            Dulang itu berfungsi sebagai tempat menyimpan air, seperti juga baskom. Kamu menepuk air di dulang arti kamu memukul permukaan air yang penuh di dalam dulang karena mungkin kamu kesal terhadap adikmu. Akan tetapi, tanpa kamu sengaja air yang kamu tepuk itu memercik atau mencerat ke mukamu sendiri. Kamu mempunyai dulang di rumah? Cobalah kamu tepuk dengan telapak tanganmu. Benarkah airnya akan memercik ke mukamu?
            Kamu kesal dengan bibimu karena bibimu tidak mengajak kamu berjalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah. Lalu, kamu jelek-jelekkan bibimu itu kepada temanmu di sekolah dengan mengatakan bahwa bibimu itu oang yang boros, suka menghambur-hamburkan uang. Kamu katakan pula bahwa utang bibimu banyak sekali di  warung-warung. Akhirnya, temanmu itu mengetahui rahasia bibimu, sebagai rahasia keluaga. Jadi, kamu membuka aib keluargamu sendiri, akhirya kamu juga yang mendapat malu, bibimu juga mendapat malu. Keadaan seperti itu dapat dikatakan dengan peribahasa menepuk air didulang, tepercik muka sendiri.

            Masih banyak peibahasa yang dapat kita sampaikan kepada mereka, seperti sebagaiberikut.
1)      Bagai menarik rambut di dalam tepung, tepungnya tidak tumpah, rambutnya tidak putus.
2)      Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampau.
3)      Besar pasak daripada tiang.
4)      Pakailah ilmu padi, makin  berisi makin runduk.
5)      Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun.

4
            Hal itulah dapat disajikan dalam kesempatan ini. Perlu ditekankan bahwa pendidikan karakter berbangsa tidak dapat dilepaskan dari Bapak Guru dan Ibu Guru yang berperan di sekolah. Tidak dapat disangkali bahwa pengajaran bahasa Indonesia merupakan corong dalam membangun karakter bangsa.




5

Chaniago, Nur Arifin dan Bagas Pratama. 2004. 770 Peribahasa Indonesia. Bandung: Penerbit Pustaka Setia.

Erianto, J. 1975. 777 Peribahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Karya Jaya.

Manurung, Rosida Tiurma. 2011. ”Pengajaran Bahasa yang Berkarakter Kebangsaan dan Berperspektif Multibudaya dalam Era Globalisasi”. Jakarta: Pusat Bahasa.

Moeliono, Anton M. 2011.  ”Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia Kendala dan Tantangan”. Jakarta: Pusat Bahasa.

Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.



                                                                        Semarang, 21 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.