Bahasa Indonesia dalam kedudukannya
sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara sudah memperlihatkan
fungsinya dengan jelas. Dalam kehidupan berbahasa kita, fungsinya yang
terpenting dapat kita sebutkan, yaitu bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar
dunia pendidikan, bahasa kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Pelaksanaan secara luas dan secara sadar fungsi bahasa Indonesia itu dibarengi
oleh keperluan orang untuk menyampaikan hasratnya dalam tingkat nasional.
Kebutuhan itu tidak hanya sebatas tatanan lisan atau tutur, tetapi juga
melibatkan kebutuhan dalam tatanan tulis dan baca.
Hingga
saat ini bahasa Indonesia sudah menjadi alat yang paling penting dalam
kehidupan. Bahasa yang dimaksudkan sudah dilengkapi dengan kosakata yang dapat
memberikan dan menyampaikan segala konsep dan gagasan. Tidak satu pun ide dan
konsep yang hendak dikatakan oleh seseorang yang tidak mampu disampaikan dengan
bahasa Indonesia.
Dengan
demikian, bahasa Indonesia dapat menjalankan fungsi kemasyarakatannya dengan
baik. Anton M. Moeliono (2011:3) mengatakan bahwa bahasa Indonesia dewasa ini
harus menjalankan fungsi kemsayarakatan yang sebelumnya tidak atau kurang
terkembang. Masyarakat Indonesia
yang memajukan pembangunan dan mengembangkan penyelenggaraan tata kelola
kenegaraannya di dalam berbagai bidangnya harus dapat berbicara dan menulis
tentang apa saja yang mungkin digagaskan di dalam konstelasi yang baru itu.
Hubungan timbal balik antara pembangunan nasional dan pengembangan bahasa
merupakan hal yang menjadi kenyataan. Oleh sebab itu, usaha pengembangan bahasa
mempunyai tiga dimensi yang berkorelasi dengan tolok ukur pembangunan
masyarakat, yaitu peningkatan keberaksaraan dan keberangkaan, pembakuan bahasa,
dan pemodernan bahasa.
Masalah
peningkatan keberaksaraan bahasa hingga saat ini sudah bejalan dengan baik.
Dengen kesempurnaan aksara bahasa Indonesia menciptakan kemajuan masyarakat
dalam baca tulis yang selama ini hal itu dimonopoli oleh kebiasaan tutur dan
dengar. Baca tulis tidak dapat dilepaskan dari kemajuan pendidikan di sekolah
yang menjadi tempat orang-orang menimba ilmu. Pembangunan dalam masyarakat baik
pembangunan fisik maupun pembangunan mental sangat didukung oleh tulis baca
dalam dunia modern.
Pengembangan
dan peningkatan keaksaraan itu menjadi kunci kemajuan dan merupakan pintu
gerbang untuk masuk ke dunia modern dan menyempurnakan peradaban dan budaya.
Oleh sebab itu, keberaksaraan itu harus diikuti pula oleh usaha pembakuan
bahasa, di samping pembakuan keaksaraa itu. Pembakuan itu akan memberikan sifat
yang mantap pada bahasa Indonesia sehingga semua pembentukan kata hendaknya
mengikuti santun dan karakter masyarakat kita.
Dalam pembakuan bahasa sifat “seragam” mempunyai
kekuatan yang dominant. Sifat seragam itu mengutamakan kesepakatan, musyawarah,
atau rundingan. Sebuah istilah yang tidak masuk dalam “kesepakatan “ itu tidak
dapat dibakukan. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai adab
tersendiri untuk menerima dan menetapkan suatu istilah atai kata. Di
sinilah letaknya kekuatan bahasa kita. Ada ukuran kesantunan di dalam penetapan
itu.
Dalam masalah seragam itu, kita
sudah melibatkan masalah sikap karakter bangsa. Bahasa kita tidak dapat kita
lepaskan dari karakter bangsa. Kita tidak dapat menerima sebuah istilah yang tidak
menunjukkan karakter tersebut. Sebaliknya, keseragaman itu sudah menunjukkan
karakter kita sebagai bangsa.
2
Rosida Tiurma Manurung (2011:2)
menekankan bahwa pengajaran bahasa dapat dijadikan motor untuk
mengimplementasikan pendidikan yang berspektif multibudaya, yaitu pendidikan
yang memiliki visi dan misi untuk menghargai keberbedaan atau pluralitas,
demokrasi, humanisme, dan mengembangkan karakter kebangsaan. Pengajaan bahasa
perlu direvitalisasi agar mampu membuat siswa menjadi insan yang menjunjung
tinggi moralitas, kedisiplinan, keadilan, kesetaraan, kepedulian sosial,
integritas, tanggung jawab, serta cinta kepada tanah air dalam perilakunya
sehari-hari. Dengan demikian, guru dianggap mempunyai kekuatan dan kemampuan
untuk mengubah dan mempebaiki karakter melalui pengajaan bahasa. Tugas-tugas
yang dibeikan oleh guru diarahkan kepada maksud ini.
Melalui pendidikan (tangan guru) apa
yang kita maksudkan sebagai karakter bangsa itu dapat diwujudkan. Nilai-nilai
luhur dalam kehidupan berbangsa dapat disampaikan dengan bahasa melalui
sekolah. Istilah-istilah yang hidup dalam bahasa Indonesia terus-menerus
diperhalus cara tutur dan tulisnya sehingga bahasa Indonesia menjadi alat yang
mampu membedakan berbagai nuansa. Pemunculan kata tunanetra sebagai padanan
kata buta merupakan usaha yang dimaksudkan itu. Dengan munculnya kata tuanetra
tidak ada asosiasi penghinaan pelecehan, pemojokan, dan sebasgainya terhadap
penyandang cacat tersebut. Munculnya
bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Indonesia merupakan usaha membentuk
karakter bangsa melalui bahasa.
3
Ada satu hal dalam bahasa kita yang tidak
dapat kita lupakan dalam menyuaakan karakter bangsa. Hal itu adalah peribahasa.
Kita memiliki kekayaan peribahasa. Dalam peribahasa terdapat berbagai
pengajaran yang menunjukkan karakter bangsa. Peribahasa
memperlihatkan sifat mulia, efisinsi, kerja keras, ketakwaan, dan sebagainya. Akan
tetapi, banyak orang yang tidak meliriknya
sebagai kekayaan bangsa. Di dalam mengajarkan peribahasa kepada siswa
SMA atau SMP, kita dapat memberikan keterangan kepada mereka sehingga mereka
dapat meresapi peribahasa itu dengan baik. Beberapa contoh peribahasa yang
dapat kita sampaikan kepada mereka adalah sebagai berikut.
Kalah jadi abu menang jadi arang
(A8)
Abu adalah sisa
pembakaran kayu yang sudah hancur seperti debu. Kemudian, arang adalah sisa
pembakaran yang belum hancur yang berupa bungkah-bungkah yang nanti juga
menjadi abu. Baik abu amupun arang, keduanya tidak berguna lagi karena keduanya
adalah sisa pembakaran. Dalam suatu pertandingan, yang kalah menjadi abu dan
menang menjadi arang, berati mereka keduanya mendapatkan sesuatu yang tidak
berguna lagi.
Adikmu berkelahi dengan temannya
sebab mereka saling mengejek. Hati mereka menjadi panas lalu mereka berkelahi.
Setelah berkelahi, adikmu bengkak-bengkak badannya, temannya luka-luka. Kedua
mereka tidak mendapat keuntungan. Mereka sama-sama rugi. Mereka mendapat
kerugian yang besar. Kepada adikmu dan temannya dapat dikatakan dengan
peribahasa kalah jadi abu menang jadi arang.
Asal
ada kecil pun pada (21A)
Asal ada maksudnya dengan syaratnya
ada, pokoknya ada, atau yang penting ada. Kata pada artinya “cukup”,
yaitu tidak lebih, tidak pula kurang. Jadi, kecil pun pada artinya kecil pun
cukup. Jadi, pokoknya ada kecil pun cukup.
Peribahasa ini
hendak mengatakan bahwa yang penting bendanya ada walaupun bendanya itu tidak
sebesar yang diharapkan. Maksudnya, tidak perlu besar, kecil pun tidak apa-apa.
Kamu membutuhkan uang untuk membeli pensil bergambar. Kamu minta uang tersebut
pada Ayah. Pensil gambar yang bagus itu yang berisi dua belas macam harganya
Rp2.000,00. Akan tetapi, Ayah hanya memberi uang Rp1.000,00. Kamu terpaksa
membeli pensil gambar yang isinya hanya enam yang harganya lebih murah. Yang
penting dengan pensil gambar itu kamu dapat menggambar walaupun warnanya cuma
enam macam. Peribahasa yang dapat dikenakan kepadamu itu adalah asal ada
kecil pun pada.
Ada
sama dimakan, tak ada sama dicari (ditahan-pen)(24A)
Jika di rumahmu ada nasi, tentu saja
kamu akan makan. Yang lain, ibumu, ayahmu, adik-adikmu, kakak-kakakmu juga
harus makan. Jadi kalau makanan ada, dimakanlah bersama. Namun, jika makanan
tidak ada di rumahmu, sama-samalah menahan lapar itu sambil menunggu hasil
pencarian kita. Jadi, kalau nasi sudah ada, nasi itu akan kita makan bersama.
Kalau nasi tidak ada, lapar akan ditahan bersama. Tentu nasi itu sama-sama pula
mencarinya.
Kalau memang terjadi di rumahmu
bahwa nasi tidak ada, kamu harus ikut memikirkan bagaimana caranya mencari
beras untuk ditanak itu. Kamu tidak boleh makan sendiri nasi yang ada. Jadi,
dalam kehidupan keluarga dan famili itu, kamu harus merasa senasib dengan
anggota keluarga lain. Ya, kalau satu orang makan, haruslah semua juga makan.
Kalau satu orang tak makan, semua anggota keluarga harus bertahan dan sama-sama
mencari. Itu namanya senasib sederita. Keadaan kamu yang seperti itu dikatakan
dengan peribahasa ada sama dimakan, tak ada sama dicari; atau dapat juga
dikatakan ada sama dimakan, tak ada sama ditahan.
Kalau
tak ada berada, tak ‘kan tempua bersarang rendah.(28A)
Tempua adalah sebangsa burung yang
membuat sarangnya pada pohon yang tinggi, seperti di pohon kelapa. Nama lain
untuk burung tempua itu adalah burung manyar. Jika burung tempua itu telah
membuat sarangnya tida di tempat yang tinggi, tentu ada penyebab dan alasan
yang sangat besar. Mungkin saja di pohon yang tinggi itu ada tawon atau
binatang lain yang mengganggu sarang tempua itu. Dikatakan bahwa kalau tak ada
sebabnya, tidak akan tempua bersarang rendah.
Pagi-pagi adikmu berangkat ke
sekolah dengan gembira. Sebelum pukul sepuluh adikmu pulang padahal waktu itu
belum waktunya bubaran sekolah. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada adikmu itu.
Tidak mungkin dia pulang sepagi itu kalau tidak ada penyebabnya. Untuk keadaan
adikmu itu dikatakan dengan peribahasa kalau tak ada berada, tak ‘kan tempua
bersarang rendah.
Air orang disauk, ranting orang
dipatah (11B)
Disauk
artinya diambil dengan gayung untuk diminum. Ranting adalah bilah kecil-kecil
yang bersifat menghalangi jalan atau mengganggu. Kalau kamu menumpang di rumah
orang, tentu saja air rumah orang itu kamu sauk. Jika ada ranting-ranting yang
menghalangi kenyamanan rumah itu kamu patahkan dan kam buang.
Begitu
juga kalau kamu pergi ke desa temanmu yang jauh. Kamu harus mengikuti aturan
dan adat istiadat negeri itu karena kamu menumpang di rumah temanmu di negeri
itu. Keadaan kamu yang harus mengikuti adat istiadat dan aturan negeri yang
kamu tempati itu disebut dengan peribahasa air orang disauk, ranting orang
dipatah.
Membagi
sama adil, memotong sama panjang (106A)
Membagi sama
adil artinya memberikan orang yang akan menerima pemberianmu itu sama banyak.
Jika orang pertama mendapat dua buah buku, yang lain juga mendapat dua buku.
Jadi, hal seperti disebut adil. Memotong sama panjang artinya memotong itu
tidak boleh sembarangan sehingga keratannya berbeda-beda panjangnya. Kalau
potongan pertama panjangnya 10 cm, potongan yang lain semuanya berukuran 10 cm.
Jadi, hal seperti itu akan menjadikan sesuatu itu sama rata sama rasa.
Kamu dan dua orang temanmu mendapat
pekejaan dari Ibu Guru, yaitu menyampuli 45 helai buku gambar yang baru saja
diterima Kantor Dinas. Karena yang ditugasi oleh Ibu Guru hanya kamu bertiga,
kamu harus membagi tugas kamu itu sama banyak dan sama beratnya. Jadi, kamu
harus memberi dua temanmu itu masing-masing 15 helai buku gambar untuk
disampuli. Kamu sendiri juga mendapat pekerjaan 15 helai buku gambar tersebut.
Jadi, dengan demikian, kamu sudah membagi secara adil. Pekerjaan seperti itu
dapat dikatakan dalam peribahasa membagi sama adil, memotong sama panjang.
Raja
adil raja disembah, raja lalim raja disanggah (107A)
Raja adalah orang yang berkuasa di
suatu negara atau kerajaan. Raja merupakan penguasa tertinggi di negeri itu. Disembah
artinya dimuliakan dan dihargai, bahkan dipuja. Cara orang menyembah itu
biasanya dengan menyusun jari sepuluh, lalu mencium ujung kaki yang disembah
itu. Pada zaman dahulu, orang menyembah raja dengan berjalan beringsut-ingsut
menuju tempat raja, lalu di situ orang-orang itu menyusun jari dan menundukkan
kepala sebagai tanda hormat dan patuh kepada raja. Kita menyembah kepada Tuhan
dengan mengangkat tangan, rukuk, sujud, dan seterusnya pada saat kita salat. Jadi,
kalau raja adil pasti raja akan disembah seperti itu.
Lalim artinya zalim, yaitu bengis,
tidak menaruh belas kasihan, kejam, atau tidak adil, bahkan bisa berbuat
sewenang-wenang. Kata disanggah artinya dibantah. Jadi, kalau raja lalim, raja
akan disanggah, yaitu dibantah, dilawan, ditentang, dan didemo.
Gubernur, kepala daerah Tingkat I,
di provinsimu sangat adil dan selalu berbuat baik terhadap kepentingan
masyarakat. Tidak ada orang yang membencinya. Dia dipuja dan disayangi oleh
masyarakat. dia disanjung dan disembah oleh masyarakat. Akan tetapi, gubenur di
daerah lain berlaku tidak adil. Banyak rumah-rumah rakyat yang digusur dan
dibangun pasar swalayan, sedangkan masyarakat yang digusur itu tidak
dipedulikan nasibnya. Oleh sebab itu, masyarakat selalu berontak dan berdemo ke
tempat gubernur. Terhadap gubernur tersebut, masyarakat selalu merasa marah dan
berontah. Mereka akan menyanggah kebijakan gubernur. Keadaan gubernur itu dapat
dikatakan dengan peribahasa raja adil raja disembah, raja lalim raja
disanggah.
Menepuk
air di dulang, tepercik muka sendiri (155A)*
Dulang itu berfungsi sebagai tempat
menyimpan air, seperti juga baskom. Kamu menepuk air di dulang arti kamu
memukul permukaan air yang penuh di dalam dulang karena mungkin kamu kesal
terhadap adikmu. Akan tetapi, tanpa kamu sengaja air yang kamu tepuk itu
memercik atau mencerat ke mukamu sendiri. Kamu mempunyai dulang di rumah?
Cobalah kamu tepuk dengan telapak tanganmu. Benarkah airnya akan memercik ke
mukamu?
Kamu kesal dengan bibimu karena
bibimu tidak mengajak kamu berjalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah. Lalu,
kamu jelek-jelekkan bibimu itu kepada temanmu di sekolah dengan mengatakan
bahwa bibimu itu oang yang boros, suka menghambur-hamburkan uang. Kamu katakan
pula bahwa utang bibimu banyak sekali di
warung-warung. Akhirnya, temanmu itu mengetahui rahasia bibimu, sebagai
rahasia keluaga. Jadi, kamu membuka aib keluargamu sendiri, akhirya kamu juga
yang mendapat malu, bibimu juga mendapat malu. Keadaan seperti itu dapat
dikatakan dengan peribahasa menepuk air didulang, tepercik muka sendiri.
Masih banyak peibahasa yang dapat
kita sampaikan kepada mereka, seperti sebagaiberikut.
1)
Bagai menarik rambut di dalam tepung, tepungnya tidak
tumpah, rambutnya tidak putus.
2)
Sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampau.
3)
Besar pasak daripada tiang.
4)
Pakailah ilmu padi, makin
berisi makin runduk.
5)
Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun.
4
Hal itulah dapat disajikan dalam
kesempatan ini. Perlu ditekankan bahwa pendidikan karakter berbangsa tidak
dapat dilepaskan dari Bapak Guru dan Ibu Guru yang berperan di sekolah. Tidak
dapat disangkali bahwa pengajaran bahasa Indonesia merupakan corong dalam
membangun karakter bangsa.
5
Chaniago, Nur Arifin dan Bagas Pratama. 2004. 770 Peribahasa Indonesia. Bandung:
Penerbit Pustaka Setia.
Erianto, J. 1975. 777
Peribahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Karya Jaya.
Manurung, Rosida Tiurma. 2011. ”Pengajaran Bahasa yang
Berkarakter Kebangsaan dan Berperspektif Multibudaya dalam Era Globalisasi”.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Moeliono, Anton M. 2011.
”Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa di Indonesia Kendala dan
Tantangan”. Jakarta: Pusat Bahasa.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Semarang, 21 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.