Sastra merupakan hasil renungan
pengarang yang dituangkan di dalam tulisan. Renungan-renungan itu adakala
merupakan suatu “kompleks tertekan” yang memunculkan dirinya dalam sebuah
novel. Selain itu, berbagai gambaran kedaerahan yang berupa ciri khas
kedaerahan itu muncul pula sebagai isi novel. Dapatlah kita katakan bahwa
novel-novel itu memperlihatkan multikultural yang amat penting. Oleh sebab itu,
ada berbagai fungsi sastra dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
1) Sastra sebagai Pembentuk Wawasan
Dalam
membaca novel, dalam otak atau jiwa kita terjadi suatu proses pembandingan pada
hal-hal yang sama. Kita membaca Malin
Kundang sebagai anak durhaka yang pada akhir cerita, kutukanlah yang diterimanya.
Kita membenarkan apa yang dilakukan oleh ibu Malin Kundang, yaitu mengutuk
anaknya menjadi batu. Akan tetapi, segera kita menemukan putusan yang lain sama
sekali setelah kita membaca Salah Asuhan.
Kedurhakaan Hanafi melebihi kedurhakaan Malin Kundang. Hanafi tidak saja mengabaikan
ibunya, tetapi juga meninggalkan adat negerinya, meninggalkan ibu pertiwa lalu
menjadi orang Belanda. Namun, ibu Hanafi
tetap memaafkan Hanafi, “Mengucaplah engkau, anakku, supaya lurus jalanmu.”
Jadi, wawasan yang pertama ternyata dipatahkan oleh wawasan yang baru.
2) Sastra sebagai pembentuk
Kepribadian Bangsa
Apa
yang dapat ditarik dari sebuah karya sastra dalam hal pembentuk kepribadian bangsa?
Ada beberapa
novel yang dapat ditunjuk sebagai novel yang seperti itu. Kepribadian bangsa
dapat dimasukkan ke dalam kepribadian seseorang dalam memperlihatkan kekuatan
pribadinya dalam mempertahankan keutuhan rumah tangganya, mempertahankan
hal-hal yang benar sebagai bangsa Timur. Kesetiaan seperti itu kita dapatkan
dalam nvel Kugapai Cintamu. Widuri
tidak bahagia dengan suaminya. Tody mengajaknya untuk meninggalkan suami yang
laknat itu. Akan tetapi, Widuri menolak dengan mengatakan, “Aku lebih suka mati
dalam keadaan bersih dari cibiran orang, Mas Tody, daripada hidup menahan
nista. Seorang istri tak boleh meninggalkan suaminya untuk ikut dengan lelaki
lain, betapa pun suaminya iblis laknat. Itu adalah nasib yang harus dijalaninya
dalam karmanya.” Sebuah kepribadian bangsa Indonesia ditampilkan oleh Widuri.
3) Sastra sebagai Sarana Fatwa dan
Nasihat
Jika
kita membaca novel Harimau! Harimau! kita
akan menemukan hal yang sangat berguna bagi kehidupan kita. Para tokohnya
saling memberi fatwa dan nasihat terhadap kehidupan yang akan datang dan
mengaku akan dosa-dosanya. Dalam novel Kering
kita diyakinkan bahwa manusia hanya dapat berusaha dan berdoa agar semua yang
diinginkan dapat terwujud. Akan tetapi, semua itu akan ditentukan oleh Tuhan,
akan diputuskan oleh Tuhan yang Mahakuasa.
4) Sastra sebagai Sarana Kritik
Sosial atau Kritik Masyarakat
Kritik
sosial terdapat pada beberapa novel,
seperti seperti Kemarau, Tenggelamnya
Kapal van der Wijck. Gambaran pada masa kemarau yang membuat sawah-sawah
kehabisan air. Orang justru berdoa dan bermantra agar para “dewa” menurunkan
hujan untuk mengairi sawahnya. Novel ini mengkritik dengan membandingkannya
pada pekerjaan yang nyata yang dapat membawakan hasil yang jelas. Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck terlihat
bagaimana Datuk.. menerima orang yang kaya untuk menjadi menantu mereka dan
menolak orang miskin untuk kegiatan itu.
5) Sastra sebagai Catatan Warisan
Kultural
Salah Asuhan, Sitti Nurbaya, Jalan Tak Ada
Ujung, Jogya Diduduki, Hulubalang Raja, merupakan novel yang memperlihatkan
berbagai budaya masyarakat. Novel Salah
Asuhan memperlihatkan bagaimana masyarakat pada waktu itu mempunyai
kegandrungan untuk meniru dunia Barat. Karena begitu besarnya kehendak dan
emosi untuk meniru orang Barat itu, justru orang rela meninggalkan adat,
negeri, ibu, dan tanah airnya. Dalam novel Sitti
Nurbaya diungkapkan impian-impian seperti hendak menghilangkan kawin paksa.
Hal itu menunjukkan bahwa pada saat itu kawin paksa telah ditantang dengan
keras. Novel Jogja Diduduki tercatat
sebagai salah satu novel yang berbicara tentang perjuangan pada saat revolusi
1945. Sebaliknya, perjuangan yang berarti itu sendiri tidak dialami oleh
generasi muda sekarang ini. Melalui novel Jogja
Diduduki kita akan mengetahui bagaimana perjuangan tentara kita secara
nyata ketika Perang Agresi dan Presiden serta Wakil Presiden ditangkap pada
tahun 1949. Dalam novel itu pula diungkapkan bagaimana pula “Serangan Satu
Maret” itu terjadi di Jogyakarta selama satu hari. Kemudian, novel Sirkuit Kemelut mengingatkan kita kepada
suatu peristiwa di Indonesia yang kita sebut sebagai Peristiwa Malari yang
berhubungan dengan kehadiran produk Jepang di Indonesia pada tahun 1974.
6) Sastra sebagai Pengalaman
Perwakilan
Sastra
memperlihatkan kepada kita tentang hal-hal yang belum kita ketahui. Sastra,
walaupun suatu karya fiktif, dapat memberikan informasi kepada kita tentang
tempat-tempat yang kita belum tahu. Karya sastra itu juga akan memberi
informasi tentang apa yang ada di suatu tempat yang tempat itu tidak sempat
dikunjungi oleh pembaca. Pengalaman
sastrawan tentang suatu tempat atau suatu keadaan itu kemudian ditularkan
kepada pembaca. Melalui informasi yang ada dalam sebuah novel, kita akhirnya
mengetahui secara jelas apa yang diinformasikan itu. Novel Upacara memberi kita suatu hal tentang bagaimana adat-adat yang
berlaku di suatu suku di Kalimantan ini.
Kemudian, dengan membaca Warisan kita
akan menyaksikan deskripsi adat di Sumatra Barat, adat kematian seorang
bangsawan yang dihormati. Lalu, novel Pengakuan
Pariyem menyuguhkan kepada kita tentang gambaran sikap yang dianut oleh
suatu kelompok etnis di Indonesia
ini.
7) Sastra sebagai Manifestasi
Kompleks Tertekan
Tidak
sedikit karya sastra lahir dari suatu luapan perasaan yang ada dalam alam bawah
sadar manusia. Dalam luapan emosi yang berada di bawah sadar itu terdapat
kompleks-kompleks tertekan yang disublimasikan melalui perwujudan sastra. Karya
sastra yang muncul itu terasa lebih serius karena merupakan hasil kepahitan
yang dirasakan selama ini. Barangkali novel Kooong
muncul dari ketidakpuasan Iwan Simatupang dalam melihat masyarakat desa
yang tidak peduli lagi dengan budaya luhur daerahnya. Masyarakat di situ telah
terbuai oleh gemerlapannya budaya Barat, seperti radio dan tape recorder yang membuat desa yang tenang menjadi hiruk pikuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.