Jumat, 13 Juli 2018

Sastra Indonesia sebagai Penguat Identitas Nasional (2 dari 3)


Sastra merupakan hasil renungan pengarang yang dituangkan di dalam tulisan. Renungan-renungan itu adakala merupakan suatu “kompleks tertekan” yang memunculkan dirinya dalam sebuah novel. Selain itu, berbagai gambaran kedaerahan yang berupa ciri khas kedaerahan itu muncul pula sebagai isi novel. Dapatlah kita katakan bahwa novel-novel itu memperlihatkan multikultural yang amat penting. Oleh sebab itu, ada berbagai fungsi sastra dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

1) Sastra sebagai Pembentuk Wawasan
            Dalam membaca novel, dalam otak atau jiwa kita terjadi suatu proses pembandingan pada hal-hal yang sama. Kita membaca Malin Kundang sebagai anak durhaka yang pada akhir cerita, kutukanlah yang diterimanya. Kita membenarkan apa yang dilakukan oleh ibu Malin Kundang, yaitu mengutuk anaknya menjadi batu. Akan tetapi, segera kita menemukan putusan yang lain sama sekali setelah kita membaca Salah Asuhan. Kedurhakaan Hanafi melebihi kedurhakaan Malin Kundang. Hanafi tidak saja mengabaikan ibunya, tetapi juga meninggalkan adat negerinya, meninggalkan ibu pertiwa lalu menjadi orang Belanda.  Namun, ibu Hanafi tetap memaafkan Hanafi, “Mengucaplah engkau, anakku, supaya lurus jalanmu.” Jadi, wawasan yang pertama ternyata dipatahkan oleh wawasan yang baru.

2) Sastra sebagai pembentuk Kepribadian Bangsa
            Apa yang dapat ditarik dari sebuah karya sastra dalam hal pembentuk kepribadian bangsa? Ada beberapa novel yang dapat ditunjuk sebagai novel yang seperti itu. Kepribadian bangsa dapat dimasukkan ke dalam kepribadian seseorang dalam memperlihatkan kekuatan pribadinya dalam mempertahankan keutuhan rumah tangganya, mempertahankan hal-hal yang benar sebagai bangsa Timur. Kesetiaan seperti itu kita dapatkan dalam nvel Kugapai Cintamu. Widuri tidak bahagia dengan suaminya. Tody mengajaknya untuk meninggalkan suami yang laknat itu. Akan tetapi, Widuri menolak dengan mengatakan, “Aku lebih suka mati dalam keadaan bersih dari cibiran orang, Mas Tody, daripada hidup menahan nista. Seorang istri tak boleh meninggalkan suaminya untuk ikut dengan lelaki lain, betapa pun suaminya iblis laknat. Itu adalah nasib yang harus dijalaninya dalam karmanya.” Sebuah kepribadian bangsa Indonesia ditampilkan oleh Widuri.

3) Sastra sebagai Sarana Fatwa dan Nasihat
            Jika kita membaca novel Harimau! Harimau! kita akan menemukan hal yang sangat berguna bagi kehidupan kita. Para tokohnya saling memberi fatwa dan nasihat terhadap kehidupan yang akan datang dan mengaku akan dosa-dosanya. Dalam novel Kering kita diyakinkan bahwa manusia hanya dapat berusaha dan berdoa agar semua yang diinginkan dapat terwujud. Akan tetapi, semua itu akan ditentukan oleh Tuhan, akan diputuskan oleh Tuhan yang Mahakuasa.

4) Sastra sebagai Sarana Kritik Sosial atau Kritik Masyarakat
            Kritik sosial  terdapat pada beberapa novel, seperti seperti Kemarau, Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Gambaran pada masa kemarau yang membuat sawah-sawah kehabisan air. Orang justru berdoa dan bermantra agar para “dewa” menurunkan hujan untuk mengairi sawahnya. Novel ini mengkritik dengan membandingkannya pada pekerjaan yang nyata yang dapat membawakan hasil yang jelas. Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck terlihat bagaimana Datuk.. menerima orang yang kaya untuk menjadi menantu mereka dan menolak orang miskin untuk kegiatan itu.

5) Sastra sebagai Catatan Warisan Kultural
            Salah Asuhan, Sitti Nurbaya, Jalan Tak Ada Ujung, Jogya Diduduki, Hulubalang Raja, merupakan novel yang memperlihatkan berbagai budaya masyarakat. Novel Salah Asuhan memperlihatkan bagaimana masyarakat pada waktu itu mempunyai kegandrungan untuk meniru dunia Barat. Karena begitu besarnya kehendak dan emosi untuk meniru orang Barat itu, justru orang rela meninggalkan adat, negeri, ibu, dan tanah airnya. Dalam novel Sitti Nurbaya diungkapkan impian-impian seperti hendak menghilangkan kawin paksa. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat itu kawin paksa telah ditantang dengan keras. Novel Jogja Diduduki tercatat sebagai salah satu novel yang berbicara tentang perjuangan pada saat revolusi 1945. Sebaliknya, perjuangan yang berarti itu sendiri tidak dialami oleh generasi muda sekarang ini. Melalui novel Jogja Diduduki kita akan mengetahui bagaimana perjuangan tentara kita secara nyata ketika Perang Agresi dan Presiden serta Wakil Presiden ditangkap pada tahun 1949. Dalam novel itu pula diungkapkan bagaimana pula “Serangan Satu Maret” itu terjadi di Jogyakarta selama satu hari. Kemudian, novel Sirkuit Kemelut mengingatkan kita kepada suatu peristiwa di Indonesia yang kita sebut sebagai Peristiwa Malari yang berhubungan dengan kehadiran produk Jepang di Indonesia pada tahun 1974.

6) Sastra sebagai Pengalaman Perwakilan
            Sastra memperlihatkan kepada kita tentang hal-hal yang belum kita ketahui. Sastra, walaupun suatu karya fiktif, dapat memberikan informasi kepada kita tentang tempat-tempat yang kita belum tahu. Karya sastra itu juga akan memberi informasi tentang apa yang ada di suatu tempat yang tempat itu tidak sempat dikunjungi oleh  pembaca. Pengalaman sastrawan tentang suatu tempat atau suatu keadaan itu kemudian ditularkan kepada pembaca. Melalui informasi yang ada dalam sebuah novel, kita akhirnya mengetahui secara jelas apa yang diinformasikan itu. Novel Upacara memberi kita suatu hal tentang bagaimana adat-adat yang berlaku di suatu suku di Kalimantan ini. Kemudian, dengan membaca Warisan kita akan menyaksikan deskripsi adat di Sumatra Barat, adat kematian seorang bangsawan yang dihormati. Lalu, novel Pengakuan Pariyem menyuguhkan kepada kita tentang gambaran sikap yang dianut oleh suatu kelompok etnis di Indonesia ini.

7) Sastra sebagai Manifestasi Kompleks Tertekan
            Tidak sedikit karya sastra lahir dari suatu luapan perasaan yang ada dalam alam bawah sadar manusia. Dalam luapan emosi yang berada di bawah sadar itu terdapat kompleks-kompleks tertekan yang disublimasikan melalui perwujudan sastra. Karya sastra yang muncul itu terasa lebih serius karena merupakan hasil kepahitan yang dirasakan selama ini. Barangkali novel Kooong muncul dari ketidakpuasan Iwan Simatupang dalam melihat masyarakat desa yang tidak peduli lagi dengan budaya luhur daerahnya. Masyarakat di situ telah terbuai oleh gemerlapannya budaya Barat, seperti radio dan tape recorder yang membuat desa yang tenang menjadi hiruk pikuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.