Senin, 20 Maret 2017

DUNIA BEBAS YANG MENGGELITIK

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: dikatakan bahwa bebas adalah lepas sama sekali (tidak terhalang, tidak terganggu); lepas dari kewajiban dan sebagainya; tidak dikenakan; tidak terikat atau terbatas; merdeka; dan tidak terdapat lagi sesuatu. Makna yang terkandung dalam kata bebas itu adalah makna yang apa adanya yang disebut sebagai makna denotatif.
            Dalam hal pemadanan kata asing ke dalam bahasa Indonesia, kata bebas kita pakai dengan sangat baik. Istilah free and open market kita padankan dengan istilah pasar bebas dan terbuka. Istilah freedom of the press kita padankan dengan istilah kebebasan pers. Istilah free hip circle kita padankan dengan istilah putaran pinggul bebas, Istilah  free kick dipadankan dengan istilah tendangan bebas. Istilah freestyler dipadankan dengan istilah pegaya bebas. Banyak lagi kata bebas yang kita padankan dalam menerjemahkan istilah free- dari bahasa Inggris. Di samping itu, kata bebas yang tidak berupa hasil pemadanan kata dari bahasa asing itu juga terpakai dengan sangat produktif. Dalam bidang politik kita mengenal istilah bebas aktif. Dalam bidang pilkada kita mengenal istilah bebas pilih.      


          Dalam era reformasi, kita selalu dihantui oleh kata “bebas”. Kata-kata bebas berpendapat, bebas menyampaikan isi hati, bebas berbicara merupakan hal yang selalu didengung-dengungkan oleh masyarakat negeri ini. Ungkapan bebas berbicara mengundang makna ”boleh berbicara tanpa ada larangan”. Dengan kata lain, orang-orang tidak dilarang berbicara.
            Hal tersebut memang dapat kita lihat di mana-mana, sampai-sampai keadaan itu tidak terkendali sehingga unjuk rasa yang digelar secara anarkis pun nyaris tidak dapat dilarang. Itulah kekuatan sebuah kata ”bebas” yang  mengendalikan para peunjuk rasa itu. Dengan kata ”bebas mengungkapkan isi hati”,  para peunjuk rasa mempunyai kekuatan, bebas mengatakan apa saja, bebas bersuara. Bukankah kita memiliki hak untuk berbicara, bahkan bebas berkata kasar, bebas mencaci maki?
Makna kata bebas yang mendukung ungkapan ”bebas berpendapat” dan ”bebas berbicara” di dalam konteks itu jelas sekali menyatakan ”boleh berbuat”, ”tidak dilarang”, dan ”tidak boleh takut”. Makna ”bebas” seperti itu ditangkap oleh beberapa masyarakat kita dengan rasa takut. Maklumlah, kata ”bebas” itu dapat berbayangkan anarkis, seperti pembakaran, penjarahan, dan pemerkosaan, terutama dihubungkan dengan masa awal reformasi itu. Oleh sebab itu, tidak begitu salah jika masyarakat kita selalu waspada dengan kata ”bebas” itu, bukan?
Hal yang disebutkan itu sangat berpengaruh pada kata ”bebas banjir”. Salah satu pengembang (developer) KPR, umpamanya, memberi suatu jaminan rumah yang dikembangkannya itu dengan istilah ”bebas banjir”. Hal tersebut ditangkap sebagai ”banjir dapat bebas masuk ke mana-mana”, padahal yang dimaksudkan itu adalah bahwa daerah perumahan itu ”tidak ada banjir”, ”terbebas dari banjir”. Seperti halnya ungkapan ”bebas berbicara” yang berarti pembicaraan boleh ke arah mana pun, ungkapan ”bebas banjir” juga mempunyai makna seperti itu, banjir bebas masuk halaman, pekarangan, dan rumah. Apalagi, pada musim seperti ini, betul-betul KPR yang dikatakan ”bebas banjir” itu kemasukan air, alias kebanjiran.
Kalau begitu persoalannya, salahkah istilah bebas banjir dipakai untuk makna ”tidak akan terjadi banjir”? Kalau istilah itu tidak tepat, istilah apa yang dapat dipakai untuk mengatakan konsep seperti itu?
Kita mengenal berbagai istilah ”bebas”, seperti bebas parkir, bebas naskoba, dan bebas becak. Makna yang dikandung oleh ungkapan itu adalah ”terbebas dari” sehingga makna itu akan menjadi terbebas dari parkir, terbebas dari narkoba, dan terbebas dari becak. Dengan demikian, orang dilarang parkir, dilarang memakai narkoba, dan dilarang membawa becak. Dengan demikian, kita menemukan makna kata ”bebas” yang sangat bertolak belakang dalam pemakaiannya dari makna sebelumnya, yaitu ”bebas bicara” dan ”bebas narkoba”. Yang pertama mengandung makna ”dibolehkan” dan yang kedua justru  bermakna ”dilarang”.
Sejak zaman kemerdekaan Indonesia, kita mendengar kata bebas  yang dipakai untuk istilah ”tidak terdapat orang yang tidak dapat membaca lagi”, yaitu ”bebas buta huruf”. Umpamanya, ada kalimat ”Kerinci bebas buta huruf”. Hal itu tidak berarti orang yang buta huruf di Kerinci ada di mana-mana, tetapi tidak ada lagi orang yang buta huruf di Kerinci. Makna ”bebas” seperti itulah yang disandang oleh kata bebas narkoba, bebas parkir, dan bebas becak. Istilah ”bebas buta huruf” dipakai dengan taat asas dengan makna ”tidak ada lagi orang yang buta huruf”.
Kalau istilah bebas buta huruf dapat dipakai dengan baik, tentu bebas parkir, bebas narkoba, dan bebas becak dapat dipakai dengan makna yang sama. Tidak terkecuali munculnya kata-kata bebas yang lain secara taat asas, seperti kata bebas asap rokok, bebas bising, dan bebas malaria. Secara taat asas kata itu muncul dengan baik dengan memakai istilah bebas.
Ada orang yang mengusulkan, bagaimana kalau kata bebas seperti itu diganti saja mengatakannya dengan kata ”dilarang” sehingga ada kata dilarang parkir, dilarang memakai narkoba, dilarang merokok, dan dilarang memakai becak?
Kata bebas pada kata-kata itu sebenarnya mengacu kepada ”tempat” dengan arti bahwa di tempat itu terbebas dari narkoba. Kata dilarang tidak mengacu pada tempat, tetapi mengacu pada perbuatannya. Oleh sebab itu, bebas asap rokok dan dilarang merokok dua kata yang nuansa maknanya tidak sama benar. Kemudian, kata bebas bising dan bebas malaria, tidak dapat diganti dengan kata dilarang berbising, dan dilarang menderita malaria. Ketiga kata terakhir itu jelas menunjukkan ”tempat” yang berkeadaan atau dikondisikan mempunyai sifat seperti itu. Pembentukan kondisi tersebut juga kita temukan pada kata bebas bea dan bebas pajak. Walaupun demikian, tetap saja bebas bising dan sebagainya itu tidak sama dengan bebas bicara. Kata itu masing-masing menyandang maknanya sendiri-sendiri. Tampaknya, kata bebas yang diikuti oleh verba atau kata kerja mempunyai makna ”dibolehkan”, sedangkan kata bebas yang dikuti oleh nomina atau kata benda mempunyai makna ”tidak diizinkan, tidak dibolehkan, atau dilarang”.

Masihkah Anda ragu dengan kata ”bebas”? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.