MENGENAL PROSA LIRIK DALAM SASTRA
Bagian Ketiga
Prosa lirik atau prosa berirama tidak hanya terdapat dalam sastra Indonesia lama, tetapi juga terdapat dalam sastra Indonesia modern. Memang tidak banyak prosa lirik dalam sastra Indonesia modern. Salah satu cerita yang berbentuk prosa lirik adalah novel Pengakuan Pariyem (1981) yang ditulis oleh Linus Suryadi AG.
Seorang gadis dari Wonogiri yang bernama Periyem Maria Magdalena yang disapa dengan “Iyem” bekerja sebagai pramuwisma (babu) nDoro Kajeng Cakro Santoso di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta. Inti ceritanya, Iyem sebagai babu melakukan cinta terlarang dengan anak sulung nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta yang bernama Bagus Ario Atmojo. Iyem tidak menuntut untuk menjadi istri Bagus. Iyem cukup puas dengan diakui sebagai menantu walau tidak dikawini. Anaknya dibawa ke Wonogiri dan Iyem kembali menjadi babu di nDalem Suryomentaraman. Barangkali Iyem sudah puas dengan memperoleh “keturunan “ dari nDoro Kajeng karena derajat atau martabat Iyam menjadi lebih baik.
Linus Suryadi AG menyampaikan cerita dengan prosa lirik
Ya, ya, Pariyem saya
Maria Magdalena lengkapnya
“Iyem” panggilan seharinya
dari Wonogiri Gunung Kidul.
Saya tak suka serba kaku --ngotot --
bagaikan baja yang keras tapi getas
sekali bengkok tak punya gaya pegas
Saya suka serba luwes --lembut--
bagaikan putri kraton Ngayogyakarta
yang lembah manah dan andhap asor
tenang bagaikan air kolam
memantulkan sinar rembulan
Puisi lirik yang dipaparkan oleh Linus Suryadi menggunakan sudut pandang orang pertama dalam segala peristiwa. Dalam memperlihat sikap Iyem yang puas dengan diakui sebagai menantu yang tidak dinikahi, yang lebih menitikberatkan persoalan keturunan nDoro Kajeng dari pada dosa dan agama, terlihat dalam pengakuanya yang disampaikan dengan prosa lirik.
Dan agama, apakah agama?
Lha di Sorga, Gusti Allah tak bertanya: ‘Agamamu apa di dunia?’
Tapi ia bertanya: ‘Di dunia kamu berbuat apa?
Pengakuan tentang anaknya yang diperoleh dari cinta terlarang itu, dipaparkannya dengan prosa lirik yang menarik, Memang, prosa lirik disampaikan dengan cara yang sama sebagai sebuah puisi. Penggalan-penggalannya sama dengan puisi. Akan tetapi, puisi lebih menekankan rima atau sajak, sedangkan prosa lirik lebih memperhatikan hentakan ritme dan keindahan.
Demikianlah, benih dalam hati saya tertanam:
Sambutlah siapa pun juga dia
dengan sabar dan tenang
Terimalah bagaimana pun juga dia
dengan senyum dan keramahan
Dan jamulah apa pun juga dia
dengan ikhlas tanpa kecurigaan
Kadang-kadang terasa bahwa apabila membaca prosa lirik itu, seolah-olah kita membawa sebuah puisi. Hal itu terjadi karena prosa lirik juga mementingkan jumlah suku kata yang dipakai sebagai tolok ukur hentakan kata yang indah. Kadang-kadang keindahan itu dibarengi pula oleh majas.
Dalam drama (lakon) Bebasari (1926) yang ditulis oleh Rustam Effendi cerita disampaikan dengan prosa lirik juga. Ceritanya ditulis dalam tiga babak. Karena dilarang oleh Pemeritah Hindia Belanda, Bebasari tidak jadi dipentaskan. Baru pada tahun 1953 drama itu diterbitkan kembali oleh Penerbit Pasco. Di situ kita simak bahwa Bebasari ditulis dengan persajakan yang teratur. Oleh sebab itu, H.B. Yassin, kritikus terkemuka Indonesia, mengatakan dengan tegas bahwa drama Bebasari merupakan drama bersajak.
Inti cerita: Kerajaan Maharaja Takutar ditaklukkan dan dirampas oleh Rawana. Anak Majaraja Takutar yang bernama Bujangga masih muda dan tidak dapat berbuat apa-apa. Tunangan Bujangga yang bernama Bebasari dikurung oleh Rawana yang dijaga oleh jin dan peri. Setelah Bujangga dewasa dia menyusun kekuatan hingga mengalahkan Rawana. Bebasari dibebaskannya dari kurungannya.
Drama Bebasari disampaikan dengan prosa lirik yang diuntai sebagai puisi. Bagaimana Bebasari menyampaikan rasa hatinya, dapat kita simak pada kata-kata berikut.
Kakanda, dari zaman berganti zaman
Tetap hatiku menanti tuan
Karena bakal membawa merdeka
Saban cintamu kepada loka
Susah payah tuan kemari
Menyeberangi darah menempur diri
O, kakanda junjungan beta
Tidak kemenangan dapat dipinta
Tiap pekerjaan meminta korban
Tiap asmara melupakan badan
Itulah bentuk prosa lirik dalam sastra kita. Prosa lirik itu ditempatkan pada sebuah cerita, baik pada sastra Indonesia lama maupun pada sastra Indonesia modern. Prosa lirik atau prosa berirama dapat ditulis dengan cara horizontal (seperti novel Sabai Nan Aluih) dan dapat pula diuntai (seperti novel Pengakuan Pariyem dan drama Bebasari). Namun, prosa lirik dipakai dalam sebuah cerita atau prosa. (S. Amran Tasai)
ooo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.