Jumat, 24 Februari 2017

Sastra dan Sejarah: Keberadaan Sejarah dalam Sastra

1.  Pendahuluan
Saya ingin mengutip secara tidak langsung apa yang dikatakan oleh Newton P. Stallknecht yang diterjemahkan oleh Amilah Ab. Rahman dalam antologi yang berjudul Sastra Perbandingan: Kaedah dan Perspektif yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1990. Dalam wacana itu dikatakan bahwa pada tahun-tahun belakangan ini kita semakin mengakui adanya ide yang dimiliki oleh sejarah yang menyentuh aspek tema dan konsep kesusastraan dan seni yang sesunggguhnya aspek ini patut dikaji dan dianalisis. Wacana itu mempertegas bahwa sastra dan sejarah memiliki keterkaitan yang erat karena keduanya berbicara tentang manusia dengan rentangan peristiwa dan alam sekitarnya. Hubungan karya sastra dengan sejarah hampir terjadi dan berjalan sepanjang zaman sejak sastra ini lahir. Hubungan itu boleh kita lihat sebagai hubungan sebab akibat yang artinya bahwa kehadiran yang satu akan merangsang bagi kehadiran yang lain. Keberadaan sejarah akan merangsang timbulnya karya sastra. Hubungan sebab akibat yang dimaksudkan itu tidak akan terjadi secara sebaliknya.
Sejarah dan sastra, keduanya, mempunyai titik singgung, yaitu peristiwa dan tindakan pada kehidupan manusia. Pada titik singgung itulah kita berada kini. Kalau kita hendak melihat bagaimana ahli sejarah mengemukakan peristiwa-peristiwa, kita akan menemukan cara yang berbeda dengan cara sastrawan mengemukakannya. Penulis sejarah membatasi diri pada penyusunan, penyajian, dan penjelasan fakta.  Penulis novel sejarah melakukan hal yang sama, tetapi novel yang yang ditulisnya itu memberikan ruang untuk fiksionalitas, misalnya dengan memberikan pikiran dan percakapan tokoh-tokoh sejarah (Luxemburg, 1989:12).
Dalam kehidupan sastra Indonesia Modern tidak dapat disangkal bahwa fakta sejarah telah masuk ke dalam dunia sastra. Kita semakin mengakui bahwa ide yang bersejarah dan keperihalan telah menyentuh aspek tema dan konsep kesastraan dan seni (Newton, 1990:105). Hal itu telah menyentuh hati dan imajinasi para sastrawan kita dalam menciptakan sebuah novel, drama, atau sajak. Unsur-unsur sejarah itu tidak saja diperlihatkan sebagai suatu ilustrasi di dalam karya
 sastra itu, tetapi kadang-kadang sepenuhnya unsur sejarah itu dibawa ke dalam sastra. Unsur sejarah itu menjadi kerangka dan tulang-tulang cerita yang kemudian dimunculkan pula daging dan darahnya sehingga sastra, terutama novel, terlihat sebagai sesuatu peristiwa sejarah yang detail. Di sana kita temukan dialog-dialog, pemikiran-pemikiran, dan tindakan-tindakan tokoh sejarah yang barangkali sudah dihidupkan dengan imajinasi pengarang. Mungkin apa yang diungkapkan secara detail itu tidak terjadi pada tokoh sejarah secara sungguh-sungguh, tetapi dialog dan sebagainya itu membuat kita lebih mengenal tokoh sejarah tersebut.
Prinsip seperti itulah tentu saja dimiliki oleh pengarang realis yang semuanya hendak serba masuk akal. Kesesuaian tempat dan waktu dengan pengalaman hidup kita dapat diuji. Hukum psikis dan sosial ditaati sepenuhnya sehingga tidak ada peluang untuk hal-hal yang tidak logis. Bahkan, unsur sejarah dalam sebuah novel, misalnya, kadang-kadang berada di suatu sudut kecil di dalam suatu peristiwa. Peristiwa sejarah terlihat sebagai pelegalisasian sastra. Novel itu bukan mengungkapkan peristiwa sejarah, tetapi menempatkan salah satu peristiwa sejarah. Dengan demikian, keberadaan novel Indonesia modern dalam hubungannya dengan sejarah, dapat dilihat dalam dua kategori, yaitu sastra yang berkisah tentang sejarah bangsa dan sastra yang berilustrasi dengan sejarah bangsa. Kelompok yang pertama dapat kita lihat sebagai sastra yang bertokohkan tokoh sejarah atau sepenuhnya berlatarkan sejarah. Kelompok yang kedua dapat kita lihat sebagai novel yang menempatkan beberapa peristiwa sejarah di dalam situasi tertentu sehingga kita tidak melihat adanya tokoh sejarah, tetapi melihat adanya suatu peristiwa sejarah yang hadir sekilas dan kemudian hilang. Namun, keduanya mendapat tempat yang sama di dalam pernovelan kita, keduanya telah memberitahukan kepada kita bahwa sejarah telah menjadi bagian yang penting dapat penciptaan karya sastra.

2. Fungsi Kehadiran Unsur Sejarah
Kehadiran unsur sejarah dalam sastra Indonesia Modern mempunyai berbagai fungsi. Pertama, unsur sejarah berfungsi sebagai unsur penguatan peristiwa sastra sehingga sastra tampak sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi. Kedua, unsur sejarah berfungsi sebagai unsur pemandu bagi pembaca sehingga pembaca memperoleh tempat mencantolkan pemikirannya. Ketiga, unsur sejarah berfungsi sebagai sumber imajinasi yang tidak akan habis.
Pada unsur yang pertama itu, sastra tampak sebagai sesuatu yang faktual. Sastra lebih terlihat sebagai suatu peristiwa atau kejadian yang nyata. Dengan mengaitkan peristiwa-peristiwa sejarah di dalam sastra terasa bahwa alur cerita, latar cerita, dan tokoh cerita benar-benar ada, dan pernah ada. Dengan memasukkan unsur sejarah ke dalam sastra itu, cerita akan diakui sebagai suatu fakta yang benar-benar ada.     
Dalam novel Sitti Nurbaya, kita temukan suatu perang yang disebut sebagai “Perang Belasting”. Perang ini terjadi karena Belanda menuntut adanya uang belasting dari masyarakat. Karena masyarakat tidak menyetujui pembayaran uang belasting itu, terjadilah huru-hara. Dalam novel itu kita mendapatkan penjelasan bahwa Balanda mengingkari perjanjian yang disebut sebagai Pelakat Panjang. Salah satu isi Pelakat Panjang itu adalah bahwa masyarakat Minangkabau tidak akan dibebani dengan berbagai biaya dalam pemerintahan.
Kehadiran Perang Belasting di dalam novel Sitti Nurbaya memberi kekuatan novel karena kehadiran perang itu membuat pembaca percaya bahwa peristiwa atau Kisah Sitti Nurbaya memang betul-betul ada. Tokoh Sitti Nurbaya betul-betul wujud di Minangkabau. Oleh sebab itu, hingga kini sebagian orang percaya bahwa kuburan Sitti Nurbaya memang ada di Bukit Padang. Kutipan berikut memperlihatkan unsur sejarah tersebut.
Sesudah dibayarnya harga minuman tadi, berjalanlah mereka ke rumah Kapitan yang memanggilnya. Baru sampai mereka ke sana. Kapitan itu berkata, “Mas dan Van Sta, aku dapat perintah menyuruh kamu kedua bersama-sama serdadumu, segera berangkat ke Padang. Esok hari juga kamu harus berangkat dari sini ke Jakarta dan dari sana bersama-sama bala tentara dari tempat lain-lain, dengan kapal, ke Padang, karena telah timbul kerusuhan, perkara belasting. Beri tahulah sekalian serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini juga. Aku harap engkau di sana akan beruntung pula sebagai sedia kala,“ kata Kapitan itu kepada Letnan Mas, sambil menjabat tangannya.
“Dan engkau, Van Sta, supaya pulang dengan kemenangan,” katanya kepada Van Sta, seraya bersalam pula, “Selamat jalan!”
Unsur sejarah juga dapat berfungsi sebagai sarana pemandu bagi pembaca dalam menelusuri novel. Novel Pergolakan karya Wildan Yatim, umpamanya,  berbicara tentang seorang guru agama yang membawa paham baru ke dalam kelompok masyrakat tertentu. Dengan munculnya berita Pemberontakan G-30-S/PKI dalam novel itu, pembaca laksana terbimbing dengan isi novel. Pembaca terpandu ke arah peristiwa tahun 1965. Pembaca merasa ada suatu pengendali pikiran. Peristiwa itu merupakan tempat pencantolan pikiran pembaca kepada suatu peristiwa sehingga pembaca mengenal cerita itu dengan baik. Kutipan yang berhubungan dengan itu dapat kita simak berikut ini.
Yusuf yang menjadi pengarah acara berkata, “Malam ini malam yang amat penting bagi kenegerian ini. Malam ini kita berkumpul untuk menentukan sikap. Dari Jakarta telah resmi diumumkan, PKI terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan yang gagal. Malahan berat dugaan orang-orang palu aritlah yang aktif melakukan perebutan kekuasaan itu.  Dewan Revolusi yang disusun Letkol Untung, sebagian besar terdiri dari orang yang dekat dengan palu arit. Di Padang dan di Solok beberapa hari berselang tahanan PKI telah lari. Kenapa bisa lari beramai-ramai begitu? Sudah dapat diduga, kerja sama dengan orang dalam, para pejabat penting. Meski telah dikerahkan RPKAD dari Jakarta untuk mencari ke hutan, dan banyak mati tertembak, tapi sebagian besar luput. Di negeri ini kawan-kawan mereka banyak. Banyak sekali. Mereka telah menteror kita selama ini. Batin kita tak pernah tenteram makan, tidur dan buang air sekalipun!”
Kutipan ini menyadarkan pembaca. Sebelumnya, pembaca hanya membaca novel dengan mengikuti alur novel yang hanya berisi periastiwa demi peristiwa. Akan tetapi, dengan munculnya peristiwa G-30-S/PKI di dalam novel, pikiran dan pemahaman pembaca langsung terpandu kea rah suatu peristiwa yang pernah mereka kenal dan mereka ketahui sebelumnya. Inilah yang kita maksudkan sebagai pencantolan pemikiran dalam memahami novel.
Unsur sejarah berfungsi sebagai sumber imajinasi yang tidak pernah habis. Sejarah tampil dalam bentuk peristiwa-peristiwa yang berisi sejarah. Keberadaan sejarah dalam sastra dapat dipandang sebagai penjelasan yang mendetail dari suatu peristiwa yang tidak mendetail. Keberadaan sejarah dalam sastra muncul sebagai fiksionalitas yang diisi dengan dialog-dialog dan pemikiran-pemikiran tokoh.
 Perjuangan Cut Mutia di Aceh melahirkan sebuah novel yang bernuansa sejarah, yaitu Mutiara karya Nur Sutan Iskandar. Cerita ini sepenuhnya berkisah tentang perjuangan Cut Mutia, peristiwa-peristiwa yang dijalani oleh Cut Mutia. Dalam novel ini terdapat rekaman perjuangan rakyat Aceh yang menuntut haknya atas republic ini dari tangan penjajah. Berbagai peristiwa diperlihatkan sebagai perjuangan yang menuntut kedaulatan rakyat, bukan penjajah. Novel ini dimulai pada saat Sultan Aceh menyatakan takluk kepada Belanda pada tahun 1903. Nur Sutan Iskandar menggambarkan kekecewaan rakyat atas pernyataan takluk kepada Belanda itu. Kutipan berikut ini menyunjukkan kekecewaan itu.
Tahun 1903…..
Perang Aceh, yaitu perang mempertahankan hak daulat kerajaan Aceh dari serangan imperialis Belanda, berhenti dengan sekonyong-konyong. Pada tahun itu Sultan datang ke Sigli dari tempat Baginda bersemayam yang akhir, akan berdamai. Baginda dibawa orang ke Kutaraja; di situ diterangkan baginda kepada gubernur bahwa Kerajaan Aceh takluk kepada Pemerintah Belanda.
Takluk! Pahit dan pedih benar getar kata yang sepatah itu terasa pada sukma rakyat. Sudah 30 tahun orang Aceh berperang dengan Belanda, sejak permulaan tahun 1873. Mereka itu sudah biasa mendengar bedil dan meriam, dengung peluru dan penggada, gemerincing pedang dan rencong, erang orang terkapai meregang nyawa, tetapi mereka tak pernah mendengar kata takluk…
Kutipan itu menyiratkan peristiwa sejarah Aceh yang tida mau tunduk kepada, tak mau takluk kepada Belanda. Oleh sebab itu, perjuangan Cut Mutia dilakukan dengan perang gerilya. Mutiara benar-benar sebuah sejarah yang diangkat menjadi sebuah novel perjuangan bangsa pada saat Perang Aceh. Yang jelas sejarah sudah menjadi sumber imajinasi sastra dan dapat memberikan pengertian yang lebih dalam tentang perjuangan para pahlawan kita. Nuansa sejarah dalam sastra kita sangat membantu mengapresiasikan sejarah kehidupan bangsa dari masa ke masa.

3. Novel yang Melibatkan Sejarah
            Apa yang dimaksudkan dengan “melibatkan” di sini tiada lain adalah “menyisipkan” peristiwa atau tokoh sejarah di dalan novel tersebut. Kegiatan menyisipkan suatu nuansa sejarah ke dalam suatu novel sudah dapat kita temukan di dalam beberapa novel. Teks-teks sastra yang berisi rekaman sejarah itu tidak serta-merta muncul pada saat kita awal membawa novel itu. Peristiwa seperti itu akan kita temukan beberapa saat setelah kita sampai pada suatu kejadian tertentu. Salah satu novel yang mendeskripsikan peristiwa sejarah di dalam “ilustrasinya” adalah novel Sirkuit Kemelut karya Ashadi Siregar yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada tahun 1976. Dalam novel ini Ashadi  Siregar menokohkan seorang anak muda yang bernama Alexander Wenas yang berasal daro Manado. Pada saat membeli hadiah ulang tahun anak kawannya di penjara dulu di Pasar Senen, Alex tertembak. Itu terjadi pada tanggal 15 Januari 1974. Pada saat itu ada kerusuhan tentang barang produk Jepang. Para mahasiswa memperlihatkan sikap anti-Jepang. Kerusuhan itu disebut sebagai “Peristiwa Malapetaka lima belas Januari” yang lebih pupoler dengan istilah “Peristiwa Malari”.
            Cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1975 memberi latar ceritanya dengan masa G-30-S/PKI. Bawuk diceritakan bernasib buruk, bersuamikan seorang yang kurang pendidikan, tokoh komunis. Akan tetapi, Bawuk tidak dapat melepaskan dirinya dari suaminya yang komunis itu. Cerita ini menyebutkan kota-kota dengan nama samaran  J, P, dan lain-lain, latar pemberontakan G-30-S/PKI merupakan peristiwa sejarah yang dimasukkan sebagai selipan peristiwa.  Peristiwa sejarah hanya aterlihat sebagai suatu suasana atau kondisi.
            Novel Robert Anak Surapati karya Abdul Muis berisi beberapa unsur sejarah kerajaan Mataram. Novel ini mengungkapkan bahwa anak Surapati yang bernama Robert itu masuk menjadi opsir Belanda  dan disuruh oleh Komnandannya untuk memata-matai Surapati. Mari kita perhatikan kutipan berikut ini.
            Robert sendiri agak ragu-ragu pula ketika berpandangan dengan Surapati. Waktu masuk melangkah ke dalam kamar kantor Surapati, ia berlaku seolah-olah hendak berhadapan dengan orang yang masih biadab, karena meskipun si Untung telah berasa menjadi raja, tapi ia tetap si Untung, orang Jawa dan budak pelarian pula. Dengan mengangkat kepala dan berlaku angkuh, masuklah ia ke dalam menghampiri Surapati. Tapi seketika jua ia pun sudah menundukkan mata karena berasa tak kuat berpandangan dengan orang yang sedang memandang kepadanya dengan nyata-nyata, seolah-olah hendak menyelidiki sampai ke sudut-sudut  yang tersembunyi di dalam hati sanubarinya. Berasalah Robert akan hina dirinya sendiri ketika ia berhadapan dengan orang yang sangat ditakuti oleh Kompeni itu (h. 93—94).
            Sejarah direkam di dalam novel Robert Anak Surapati dengan bagus sekali. Novel ini berfungsi sebagai media penyimpan sejarah bangsa yang pernah ada. Diharapkan novel-novel kita akan hidup dengan sehat dengan memanfaatkan kehidupan sejarah bangsa sebagai sumber inspirasi.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.