1. Pendahuluan
Saya
ingin mengutip secara tidak langsung apa yang dikatakan oleh Newton P.
Stallknecht yang diterjemahkan oleh Amilah Ab. Rahman dalam antologi yang
berjudul Sastra Perbandingan: Kaedah dan
Perspektif yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian
Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1990. Dalam wacana itu dikatakan bahwa pada
tahun-tahun belakangan ini kita semakin mengakui adanya ide yang dimiliki oleh
sejarah yang menyentuh aspek tema dan konsep kesusastraan dan seni yang
sesunggguhnya aspek ini patut dikaji dan dianalisis. Wacana itu mempertegas
bahwa sastra dan sejarah memiliki keterkaitan yang erat karena keduanya
berbicara tentang manusia dengan rentangan peristiwa dan alam sekitarnya. Hubungan
karya sastra dengan sejarah hampir terjadi dan berjalan sepanjang zaman sejak
sastra ini lahir. Hubungan itu boleh kita lihat sebagai hubungan sebab akibat
yang artinya bahwa kehadiran yang satu akan merangsang bagi kehadiran yang
lain. Keberadaan sejarah akan merangsang timbulnya karya sastra. Hubungan sebab
akibat yang dimaksudkan itu tidak akan terjadi secara sebaliknya.
Sejarah
dan sastra, keduanya, mempunyai titik singgung, yaitu peristiwa dan tindakan
pada kehidupan manusia. Pada titik singgung itulah kita berada kini. Kalau kita
hendak melihat bagaimana ahli sejarah mengemukakan peristiwa-peristiwa, kita akan
menemukan cara yang berbeda dengan cara sastrawan mengemukakannya. Penulis
sejarah membatasi diri pada penyusunan, penyajian, dan penjelasan fakta. Penulis novel sejarah melakukan hal yang sama,
tetapi novel yang yang ditulisnya itu memberikan ruang untuk fiksionalitas,
misalnya dengan memberikan pikiran dan percakapan tokoh-tokoh sejarah
(Luxemburg, 1989:12).
Dalam
kehidupan sastra Indonesia Modern tidak dapat disangkal bahwa fakta sejarah
telah masuk ke dalam dunia sastra. Kita semakin mengakui bahwa ide yang
bersejarah dan keperihalan telah menyentuh aspek tema dan konsep kesastraan dan
seni (Newton, 1990:105). Hal itu telah menyentuh hati dan imajinasi para
sastrawan kita dalam menciptakan sebuah novel, drama, atau sajak. Unsur-unsur
sejarah itu tidak saja diperlihatkan sebagai suatu ilustrasi di dalam karya
sastra itu, tetapi kadang-kadang sepenuhnya
unsur sejarah itu dibawa ke dalam sastra. Unsur sejarah itu menjadi kerangka
dan tulang-tulang cerita yang kemudian dimunculkan pula daging dan darahnya
sehingga sastra, terutama novel, terlihat sebagai sesuatu peristiwa sejarah
yang detail. Di sana
kita temukan dialog-dialog, pemikiran-pemikiran, dan tindakan-tindakan tokoh
sejarah yang barangkali sudah dihidupkan dengan imajinasi pengarang. Mungkin
apa yang diungkapkan secara detail itu tidak terjadi pada tokoh sejarah secara
sungguh-sungguh, tetapi dialog dan sebagainya itu membuat kita lebih mengenal
tokoh sejarah tersebut.
Prinsip
seperti itulah tentu saja dimiliki oleh pengarang realis yang semuanya hendak
serba masuk akal. Kesesuaian tempat dan waktu dengan pengalaman hidup kita
dapat diuji. Hukum psikis dan sosial ditaati sepenuhnya sehingga tidak ada
peluang untuk hal-hal yang tidak logis. Bahkan, unsur sejarah dalam sebuah
novel, misalnya, kadang-kadang berada di suatu sudut kecil di dalam suatu
peristiwa. Peristiwa sejarah terlihat sebagai pelegalisasian sastra. Novel itu
bukan mengungkapkan peristiwa sejarah, tetapi menempatkan salah satu peristiwa
sejarah. Dengan demikian, keberadaan novel Indonesia modern dalam hubungannya
dengan sejarah, dapat dilihat dalam dua kategori, yaitu sastra yang berkisah
tentang sejarah bangsa dan sastra yang berilustrasi dengan sejarah bangsa.
Kelompok yang pertama dapat kita lihat sebagai sastra yang bertokohkan tokoh
sejarah atau sepenuhnya berlatarkan sejarah. Kelompok yang kedua dapat kita
lihat sebagai novel yang menempatkan beberapa peristiwa sejarah di dalam
situasi tertentu sehingga kita tidak melihat adanya tokoh sejarah, tetapi
melihat adanya suatu peristiwa sejarah yang hadir sekilas dan kemudian hilang.
Namun, keduanya mendapat tempat yang sama di dalam pernovelan kita, keduanya
telah memberitahukan kepada kita bahwa sejarah telah menjadi bagian yang
penting dapat penciptaan karya sastra.
2.
Fungsi Kehadiran Unsur Sejarah
Kehadiran
unsur sejarah dalam sastra Indonesia Modern mempunyai berbagai fungsi. Pertama,
unsur sejarah berfungsi sebagai unsur penguatan peristiwa sastra sehingga
sastra tampak sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi. Kedua, unsur sejarah
berfungsi sebagai unsur pemandu bagi pembaca sehingga pembaca memperoleh tempat
mencantolkan pemikirannya. Ketiga, unsur sejarah berfungsi sebagai sumber
imajinasi yang tidak akan habis.
Pada
unsur yang pertama itu, sastra tampak sebagai sesuatu yang faktual. Sastra
lebih terlihat sebagai suatu peristiwa atau kejadian yang nyata. Dengan
mengaitkan peristiwa-peristiwa sejarah di dalam sastra terasa bahwa alur
cerita, latar cerita, dan tokoh cerita benar-benar ada, dan pernah ada. Dengan
memasukkan unsur sejarah ke dalam sastra itu, cerita akan diakui sebagai suatu
fakta yang benar-benar ada.
Dalam
novel Sitti Nurbaya, kita temukan
suatu perang yang disebut sebagai “Perang Belasting”. Perang ini terjadi karena
Belanda menuntut adanya uang belasting dari masyarakat. Karena masyarakat tidak
menyetujui pembayaran uang belasting itu, terjadilah huru-hara. Dalam novel itu
kita mendapatkan penjelasan bahwa Balanda mengingkari perjanjian yang disebut
sebagai Pelakat Panjang. Salah satu
isi Pelakat Panjang itu adalah bahwa masyarakat Minangkabau tidak akan dibebani
dengan berbagai biaya dalam pemerintahan.
Kehadiran
Perang Belasting di dalam novel Sitti
Nurbaya memberi kekuatan novel karena kehadiran perang itu membuat pembaca
percaya bahwa peristiwa atau Kisah Sitti Nurbaya memang betul-betul ada. Tokoh
Sitti Nurbaya betul-betul wujud di Minangkabau. Oleh sebab itu, hingga kini
sebagian orang percaya bahwa kuburan Sitti Nurbaya memang ada di Bukit Padang . Kutipan berikut
memperlihatkan unsur sejarah tersebut.
Sesudah
dibayarnya harga minuman tadi, berjalanlah mereka ke rumah Kapitan yang
memanggilnya. Baru sampai mereka ke sana .
Kapitan itu berkata, “Mas dan Van Sta, aku dapat perintah menyuruh kamu kedua
bersama-sama serdadumu, segera berangkat ke Padang . Esok hari juga kamu harus berangkat
dari sini ke Jakarta dan dari sana bersama-sama bala tentara dari tempat
lain-lain, dengan kapal, ke Padang, karena telah timbul kerusuhan, perkara
belasting. Beri tahulah sekalian serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini
juga. Aku harap engkau di sana
akan beruntung pula sebagai sedia kala,“ kata Kapitan itu kepada Letnan Mas,
sambil menjabat tangannya.
“Dan
engkau, Van Sta, supaya pulang dengan kemenangan,” katanya kepada Van Sta,
seraya bersalam pula, “Selamat jalan!”
Unsur
sejarah juga dapat berfungsi sebagai sarana pemandu bagi pembaca dalam
menelusuri novel. Novel Pergolakan
karya Wildan Yatim, umpamanya, berbicara
tentang seorang guru agama yang membawa paham baru ke dalam kelompok masyrakat
tertentu. Dengan munculnya berita Pemberontakan G-30-S/PKI dalam novel itu,
pembaca laksana terbimbing dengan isi novel. Pembaca terpandu ke arah peristiwa
tahun 1965. Pembaca merasa ada suatu pengendali pikiran. Peristiwa itu
merupakan tempat pencantolan pikiran pembaca kepada suatu peristiwa sehingga
pembaca mengenal cerita itu dengan baik. Kutipan yang berhubungan dengan itu
dapat kita simak berikut ini.
Yusuf
yang menjadi pengarah acara berkata, “Malam ini malam yang amat penting bagi
kenegerian ini. Malam ini kita berkumpul untuk menentukan sikap. Dari Jakarta
telah resmi diumumkan, PKI terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan yang
gagal. Malahan berat dugaan orang-orang palu aritlah yang aktif melakukan
perebutan kekuasaan itu. Dewan Revolusi
yang disusun Letkol Untung, sebagian besar terdiri dari orang yang dekat dengan
palu arit. Di Padang dan di Solok beberapa hari berselang tahanan PKI telah
lari. Kenapa bisa lari beramai-ramai begitu? Sudah dapat diduga, kerja sama
dengan orang dalam, para pejabat penting. Meski telah dikerahkan RPKAD dari Jakarta untuk mencari ke
hutan, dan banyak mati tertembak, tapi sebagian besar luput. Di negeri ini
kawan-kawan mereka banyak. Banyak sekali. Mereka telah menteror kita selama
ini. Batin kita tak pernah tenteram makan, tidur dan buang air sekalipun!”
Kutipan
ini menyadarkan pembaca. Sebelumnya, pembaca hanya membaca novel dengan
mengikuti alur novel yang hanya berisi periastiwa demi peristiwa. Akan tetapi,
dengan munculnya peristiwa G-30-S/PKI di dalam novel, pikiran dan pemahaman pembaca
langsung terpandu kea rah suatu peristiwa yang pernah mereka kenal dan mereka
ketahui sebelumnya. Inilah yang kita maksudkan sebagai pencantolan pemikiran
dalam memahami novel.
Unsur
sejarah berfungsi sebagai sumber imajinasi yang tidak pernah habis. Sejarah
tampil dalam bentuk peristiwa-peristiwa yang berisi sejarah. Keberadaan sejarah
dalam sastra dapat dipandang sebagai penjelasan yang mendetail dari suatu
peristiwa yang tidak mendetail. Keberadaan sejarah dalam sastra muncul sebagai
fiksionalitas yang diisi dengan dialog-dialog dan pemikiran-pemikiran tokoh.
Perjuangan Cut Mutia di Aceh melahirkan sebuah
novel yang bernuansa sejarah, yaitu Mutiara
karya Nur Sutan Iskandar. Cerita ini sepenuhnya berkisah tentang perjuangan
Cut Mutia, peristiwa-peristiwa yang dijalani oleh Cut Mutia. Dalam novel ini
terdapat rekaman perjuangan rakyat Aceh yang menuntut haknya atas republic ini
dari tangan penjajah. Berbagai peristiwa diperlihatkan sebagai perjuangan yang
menuntut kedaulatan rakyat, bukan penjajah. Novel ini dimulai pada saat Sultan
Aceh menyatakan takluk kepada Belanda pada tahun 1903. Nur Sutan Iskandar
menggambarkan kekecewaan rakyat atas pernyataan takluk kepada Belanda itu.
Kutipan berikut ini menyunjukkan kekecewaan itu.
Tahun
1903…..
Perang
Aceh, yaitu perang mempertahankan hak daulat kerajaan Aceh dari serangan
imperialis Belanda, berhenti dengan sekonyong-konyong. Pada tahun itu Sultan datang
ke Sigli dari tempat Baginda bersemayam yang akhir, akan berdamai. Baginda
dibawa orang ke Kutaraja; di situ diterangkan baginda kepada gubernur bahwa
Kerajaan Aceh takluk kepada Pemerintah Belanda.
Takluk!
Pahit dan pedih benar getar kata yang sepatah itu terasa pada sukma rakyat.
Sudah 30 tahun orang Aceh berperang dengan Belanda, sejak permulaan tahun 1873.
Mereka itu sudah biasa mendengar bedil dan meriam, dengung peluru dan penggada,
gemerincing pedang dan rencong, erang orang terkapai meregang nyawa, tetapi
mereka tak pernah mendengar kata takluk…
Kutipan
itu menyiratkan peristiwa sejarah Aceh yang tida mau tunduk kepada, tak mau
takluk kepada Belanda. Oleh sebab itu, perjuangan Cut Mutia dilakukan dengan
perang gerilya. Mutiara benar-benar
sebuah sejarah yang diangkat menjadi sebuah novel perjuangan bangsa pada saat
Perang Aceh. Yang jelas sejarah sudah menjadi sumber imajinasi sastra dan dapat
memberikan pengertian yang lebih dalam tentang perjuangan para pahlawan kita.
Nuansa sejarah dalam sastra kita sangat membantu mengapresiasikan sejarah
kehidupan bangsa dari masa ke masa.
3.
Novel yang Melibatkan Sejarah
Apa
yang dimaksudkan dengan “melibatkan” di sini tiada lain adalah “menyisipkan”
peristiwa atau tokoh sejarah di dalan novel tersebut. Kegiatan menyisipkan
suatu nuansa sejarah ke dalam suatu novel sudah dapat kita temukan di dalam
beberapa novel. Teks-teks sastra yang berisi rekaman sejarah itu tidak
serta-merta muncul pada saat kita awal membawa novel itu. Peristiwa seperti itu
akan kita temukan beberapa saat setelah kita sampai pada suatu kejadian
tertentu. Salah satu novel yang mendeskripsikan peristiwa sejarah di dalam
“ilustrasinya” adalah novel Sirkuit
Kemelut karya Ashadi Siregar yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada
tahun 1976. Dalam novel ini Ashadi
Siregar menokohkan seorang anak muda yang bernama Alexander Wenas yang
berasal daro Manado .
Pada saat membeli hadiah ulang tahun anak kawannya di penjara dulu di Pasar
Senen, Alex tertembak. Itu terjadi pada tanggal 15 Januari 1974. Pada saat itu
ada kerusuhan tentang barang produk Jepang. Para
mahasiswa memperlihatkan sikap anti-Jepang. Kerusuhan itu disebut sebagai
“Peristiwa Malapetaka lima
belas Januari” yang lebih pupoler dengan istilah “Peristiwa Malari”.
Cerita
Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar
Kayam yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1975 memberi latar
ceritanya dengan masa G-30-S/PKI. Bawuk diceritakan bernasib buruk, bersuamikan
seorang yang kurang pendidikan, tokoh komunis. Akan tetapi, Bawuk tidak dapat
melepaskan dirinya dari suaminya yang komunis itu. Cerita ini menyebutkan
kota-kota dengan nama samaran J, P, dan
lain-lain, latar pemberontakan G-30-S/PKI merupakan peristiwa sejarah yang
dimasukkan sebagai selipan peristiwa.
Peristiwa sejarah hanya aterlihat sebagai suatu suasana atau kondisi.
Novel
Robert Anak Surapati karya Abdul Muis
berisi beberapa unsur sejarah kerajaan Mataram. Novel ini mengungkapkan bahwa
anak Surapati yang bernama Robert itu masuk menjadi opsir Belanda dan disuruh oleh Komnandannya untuk
memata-matai Surapati. Mari kita perhatikan kutipan berikut ini.
Robert
sendiri agak ragu-ragu pula ketika berpandangan dengan Surapati. Waktu masuk
melangkah ke dalam kamar kantor Surapati, ia berlaku seolah-olah hendak
berhadapan dengan orang yang masih biadab, karena meskipun si Untung telah
berasa menjadi raja, tapi ia tetap si Untung, orang Jawa dan budak pelarian
pula. Dengan mengangkat kepala dan berlaku angkuh, masuklah ia ke dalam
menghampiri Surapati. Tapi seketika jua ia pun sudah menundukkan mata karena
berasa tak kuat berpandangan dengan orang yang sedang memandang kepadanya
dengan nyata-nyata, seolah-olah hendak menyelidiki sampai ke sudut-sudut yang tersembunyi di dalam hati sanubarinya.
Berasalah Robert akan hina dirinya sendiri ketika ia berhadapan dengan orang
yang sangat ditakuti oleh Kompeni itu (h. 93—94).
Sejarah
direkam di dalam novel Robert Anak
Surapati dengan bagus sekali. Novel ini berfungsi sebagai media penyimpan
sejarah bangsa yang pernah ada. Diharapkan novel-novel kita akan hidup dengan
sehat dengan memanfaatkan kehidupan sejarah bangsa sebagai sumber inspirasi.
(bersambung)
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.